WAYANG
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah: Islam danBudayaJawa
DosenPengampu: M. RikzaChamami, M.S.I

Disusun oleh:
Nurul Hikmah Sofyan
(123111128)
Siti Eli Arifah
(123111143)
UlfatulQoyimah
(123111154)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2013
I.
PENDAHULUAN
Wayang adalah legenda yang ternyata mempunyai peranan penting dalam
mendidik dan mengembangkan pikiran ataupun kepribadian dalam hidup, khususnya
bagi generasi muda. Dengan pementasan wayang dimana cerita yang diambil dari
cerita-cerita epik besar India Ramayana dan Mahabharata khususnya, menyampaikan
nilai-nilai pemandu kehidupan kepada masyarakat luas.
Diyakini dengan mempelajari wayang merupakan hal yang penting
apabila ingin memahami orang Jawa secara lebih mendalam. Bagi orang Jawa,
seorang pemimpin harus alus atau berbudi halus, elegan, bertutur kata lembut,
sopan, mudah beradaptasi dan sensitif, dengan kekuatan dari dalam sehingga
mampu memberi perintah secara tidak langsung dan sopan, yang di permukaan
tampak seperti merendahkan diri.
Museum Ronggowarsito merupakan museum umum yang koleksi benda-benda
sejarahnya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, khususnya Jawa. Nama
museum ini diambil dari nama seorang pujangga dari Surakarta yaitu, Raden
Ngabehi Ranggawarsita (5 Maret 1808- 24 Desember 1873).
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa
pengertian wayang dan bagaimana sejarah perkembangannya?
B.
Apa
saja koleksi wayang-wayang yang berada di Museum Ronggowarsito?
C.
Apa saja
nilai-nilai yang terkandung dalam wayang?
D.
Apa
fungsi dari wayang?
III.
HASIL PENGAMATAN
A.
Pengertian Wayang dan Sejarahnya
Arti harfiah dari wayang adalah bayangan, tetapi dalam perjalanan
waktu pengertian wayang itu berubah, dan kini wayang dapat berarti pertunjukkan
panggung atau teater atau dapat pula berarti aktor dan aktris. Wayang sebagai
seni teater berarti pertunjukan panggung dimana
sutradara ikut bermain. Jadi berbeda dari sandiwara atau film di mana
sutradara tidak muncul sebagai pemain. Adapun sutradara dalam pertunjukan
wayang itu dikenal sebagai dalang.[1]
Wayang dalam bahasa Jawa
berarti bayangan, dalam bahasa Melayu disebut bayang-bayang. Dalam
bahasa Aceh berarti baying. Dalam bahasa Bugis wayang atau bayang, dalam bahasa
Bikol dikenal dengan kata baying artinya barang yaitu apa yang dapat dilihat
dengan nyata.[2]
Buku-buku Jawa Kuno memuat permulaan adanya wayang. Dalam buku itu
dinyatakan bahwa wayang adalah gambaran fantasi tentang bayangan manusia (Jawa:
ayang-ayang). Perkembangan wayang pada masa-masa berikutnya adalah wayang
diartikan sebagai bayang-bayang boneka yang dimainkan di atas layar putih.
Pengertian itu telah menunjuk pada dua dimensi, yaitu boneka wayang kulit (Sri
Mulyono, Ir, 1978: 39-49).
Atas dasar kepercayaan orang kepada roh nenek moyang maka wayang
diartikan sebagai bayangan roh nenek moyang. Untuk memvisualisasikannya
dibuatlah boneka yang diproyeksikan pada sehelai layar putih. Boneka berfungsi
sebagai tempat sementara roh yang datang, sedangkan bayangan bonekasebagai
bayangan roh yang tinggal sementara di dalam boneka.
Gagasan tentang wayang telah ada sebelum ada kebudayaan Hindu masuk
ke Jawa (Harjowirogo, 1964: 211). Maka dari itu dapat dikatakan bahwa wayang
merupakan buatan asli orang Jawa. Dasar penciptaannya adalah kepercayaan
terhadap kekuatan ghaib yang datang dari roh nenek moyang. Kepercayaan tersebut
disebut kepercayaan animisme.[3]
B.
Koleksi Wayang yang berada di Museum Ronggowarsito
Terdapat beraneka ragam koleksi wayang yang tersimpan di Museum
Ronggowarsito. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:
1.
Wayang
Kulit Purwa
Merupakan jenis wayang yang paling popular di masyarakat sampai
saat ini. Wayang yang paling banyak disoroti di dalam maupun di luar negeri
sejarah perkembangannya telah diketahui paling tidak sejak abad ke 11, yang
telah dijadikan objek studi para sarjana dalam dan luar negeri selama berabad-abad.[4]
Cerita yang diambil dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Wayang
tersebut dimainkan oleh seorang dalang, wayang ini terbuat dari lembaran kulit
kerau atau sapi yang dipahat menurut bentuk wayang. Dan kemudian disungging
dengan warna-warni yang mencerminkan perlambangan karakter dari sang tokoh.
Cempurit adalah kerangka yang terbuat dari tanduk kerbau atau kulit penyu. Yang
digunakan sebagai penguat agar lembaran wayang tidak lemas.
2.
Wayang
Kayu
Kesenian wayang ternyata berkembang tidak saja dalam bentuk kisah,
tokoh, perlengkapan, tetapi juga bahan bakunya. Sunan Kudus tahun 1574 yang
hidup di lingkungan pengrajin kayu menciptakan boneka-boneka wayang dari kayu
dalam bentuk 3 dimensi dan dikenal sebagai wayang Golek Purwa. Kata Golek
sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti boneka. Juga berkonotasi mencari
sesuai pola tariannya yang selalu berputar seolah-olah mencari-cari.
Perkembangan berikutnya dibuat tokoh-tokoh wayang dari kayu pipih.
Yang dikenal sebagai wayang Klithik atau wayang Krucil dan dibuat pada masa Sri
Susuhunan Paku Buwono II.
3.
Wayang
Topeng
Wayang Topeng merupakan perpaduan drama dan tari. Pemainnya memakai
topeng yang memerankan tokoh untuk mempertegas watak atau karakter tokoh.
Tipe
topeng yang banyak dikenal yakni:
a.
Jawa
Tengahan: Dagu Ramping, Sungging warna campuran.
b.
Jawa
Timuran: Dagu Tumpul, Sungging warna dasar merah, putih dan hitam.
Sedangkan
bentuknya meliputi bentuk gagahan dan alusan.
a.
Topeng
Kelana gaya Jogjakarta
b.
Topeng
Kelana gaya Cirebonan
c.
Topeng
Endel
d.
Topeng
Sumbang banyu gaya Surakarta
Wayang Topeng koleksi Museum Jawa Tengah Ronggo Warsito adalah
Topeng Gedhog, pakaian topeng berfungsi untuk mempertegas watak para tokoh
wayang Panji.
4.
Wayang
Golek
a.
Wayang
Golek Jawa
b.
Wayang
Golek Menak
c.
Wayang
Golek Purwa
5.
Wayang
Kancil
Wayang Kancil diciptakan pada tahun 1925 oleh seorang peminat seni
wayang keturunan China bernama Bo Liem. Wayang ini terbuat dari kulit dan
menggunakan toko binatang sebagai peraganya.
6.
Wayang
Panakawan
Panakawan dalam pewayangan disebut juga Pamong. Kata panakawan
berarti teman yang menghibur, yang menghibur dan memberi semangat dan motivasi.
Tokoh Panakawan asli Indonesia tidak terdapat dalam Kitab Mahabarata maupun
Ramayana. Kehadiran mereka dalam dunia pewayangan, juga dalam alur ceritanya,
bukan hanya sebagai bumbu penyedap saja melainkan tokoh pembawa konsep religi
dan konsep filsafat dalam cerita wayang.
7.
Wayang
Sadat
Wayang ini diciptakan oleh Suryadi Warno Suhardjo. Seorang guru
matematika SPG Muhammadiyah di Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Wayang ini
sepenuhnya bernafaskan Islam dengan suasana pesantren dan dalam penyampaiannya
tetap menggunakan dasar budaya Jawa. Bentuk wayang peraga dibuat lebih
realistik dibandingkan dengan bentuk peraga wayang kulit Purwa. Sunggingan
wayang Sadat lebih meriah dibandingkan dengan wayang kulit Purwa dengan
menggunakan warna-warna yang lebih cerah.
Yang unik dari pagelaran wayang ini adalah suara pukulan bedhug
bertalu-talu disusul dengan ucapan assalamualaikum oleh dalang yang memainkan
wayang sebagai penanda dibukanya pagelaran wayang Sadat. Dan cerita yang
ditampilkan dalam wayang diambil dari kisah para wali dan riwayat penyebaran
Islam di Pulau Jawa. Wayang ini digunakan sebagai keperluan dakwah Islam yang
sering dikaitkan dengan kata syahadatin dalam penamaannya sebagai akronim
sarana dakwah dan tabligh.
8.
Wayang
Wahyu
Terbuat dari kulit tetapi corak tatahan dan sunggingannya sedikit
naturalistik. Wayang ini mengambil cerita dari Kitab Injil, baik perjanjian
lama maupun perjanjian baru, bahasa pengantarnya adalah bahasa Jawa.
Perkembangan Wayang Wahyu terbatas pada lingkungan masyarakat beragama Katholik
yang berasal dari suku Jawa. Wayang ini diciptakan oleh Broder T. Mardi
Subroto. Pada tahun 1960.
9.
Wayang
Duporo
Diciptakan oleh seorang bangsawan Surakarta Danuatmaja pertengahan
abad 19. Menceritakan kisah perkembangan Kerajaan Demak sampai dengan Kerajaan
Mataram (Perang Diponegoro).
10.
Wayang
Budha
Jenis wayang kreasi baru ini diciptakan pada tahun 1978 oleh
Prapto, AS Budiono dan Hajar Satoto dari Surakarta. Wayang ini pertama kali
ditampilkan di hadapan umum di pusat kesenian wayang Jawa Tengah, Sasana-mulya
Surakarta. Cerita pada wayang ini diambilkan dari ajaran agama Budha, yang mana
saat ini tidak lagi dipergelarkan.
11.
Wayang
Klitik Gedhog
Wayang Klitik Gedhog terbuat dari kayu pipih yang dibentuk dan
disungging menyerupai wayang Kulit Madya. Dibandingkan dengan wayang kulit
umumnya wayang Klitik ukurannya lebih kecil dan pendek. Hanya bagian tangan
peraga wayang itu bukan dari kayu pipih melainkan terbuat dari kulit agar lebih
awet dan ringan dalam menggerakannya .
Pementasan wayang kulit Klitik Gedhog juga diiringi oleh gamelan
berlaras Slendro dan memakai pesinden tetapi tanpa menggunakan kelir sehingga
penonton dapat melihat secara langsung.
Dalam pagelarannya, dalang wayang Klitik Gedhog tidak menyanyikan suluk,
melainkan tembang. Pergelarannya biasanya dilakukan pada siang hari. Cerita
yang dilakonkan pada wayang ini umumnya adalah kisah Damarwulan di zaman
Majapahit. Para tokohnya biasanya mengenakan senjata keris dan golok yang
diciptakan pada masa Amangkurat I.
12.
Wayang
Warta
Wayang ini menceritakan kisah yang bersumber dari Kitab Injil, yang
diciptakan oleh R. Soemiyanto dari Kabupaten Klaten.
13.
Wayang
Gedhog
Wayang ini menceritakan kisah Jenggala sampai dengan jaman
Pajajaran, berupa mitos dan sejarah yang diambil dari Serat Panji.
Tokoh-tokohnya berciri khas memakai kuluk, wanita berambut panjang, pria
bersarung, memakai rapek, kalung, gelang, anting-anting, dan kelat bahu. Nama
tokoh yang berinisial binatang seperti lembu tani luhur, kuda wana pati,
diciptakan pada masa Sri Mangku Negoro IV dan diiringi gamelan Laras Pelog.
14.
Wayang
Kanda
Merupakan wayang yang menceritakan mengenai kisah lahir hingga
gugurnya Rahwana yang dikarang oleh Empu Walmiki. Adapun pengaruhnya dalam
sastra Indonesia dapat dilihat pada hikayat seri Rama, cerita tersebut terdiri dari tujuh kanda, yaitu:
v Balakandha :
mengisahkan masa kecil Rama dan saudaranya, Rama memperoleh Sinta melalui
sayembara.
v Ayodyakandha :
menceritakan kisah pembuangan dan pengembaraan Rama, Sinta, dan Lesmana.
v Arannyakandha :
mengisahkan tentang pertemuan Rama, Sinta dan Lesmana dengan raksasa perempuan,
adik Rahwana.
v Kiskendakandha :
mengisahkan tentang perjumpaan dan persahabatan Rama dengan raja Kera
“Sugriwa”.
v Sundarakandha :
menceritakan tentang kepergian Hanoman ke Alengka sebagai utusan mata-mata
Rama.
v Yudhakandha :
mengisahkan tentang peperangan antara bala tentara Rama dengan bala tentara
Rahwana.
v Uttarakandha :
mengisahkan mengenai asal-usul Rahwana dan negaranya serta kisah terakhir Rama.
15.
Wayang
Beber
Wayang Beber diciptakan pada zaman Majapahit, nama tersebut
diberikan karena teknik pementasannya dengan cara membentangkan kain yang
bergambar wayang yang semula digulung. Isi cerita Lakon Panji dan Lakon Purwa.
Satu lakon berisi adegan, sedangkan satu gulung terdiri dari empat adegan, maka
satu cerita terdiri dari empat gulung. Wayang beber ini pertama kali
dipertunjukkan pada tahun 141 M.
C.
Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Wayang
Pergelaran wayang tersaji dalam bentuk satu cerita yang disebut
lakon. Semula suatu lakon menggambarkan kehidupan para leluhur. Lama kelamaan,
pada zaman Hindu lakon para leluhur bergeser dengan lakon kepahlawanan dari
India yang dipetik dari kitab Mahabarata atau Ramayana namun dalam
perkembangannya dasar lakon yang asli sukar ditemukan kembali. Kemudian lakon
dari kitab Mahabarata atau Ramayana diadopsi oleh orang Jawa, akhirnya berisi
muatan kepribadian dan nilai-nilai kehidupan Jawa.
Pergelaran wayang semalam suntuk atau selama 2-3 jam (Sewangi,
1999:25) mengandung banyak nilai, yakni:
1.
Nilai
Religius.
Seperti yang telah diuraikan terdahulu bahwa mula-mula pertunjukan
wayang dimaksudkan untuk memuja roh nenek moyang. Pada zaman kerajaan Demak,
pertunjukkan wayang dimanfaatkan untuk menyebarkan agama Islam, misalnya lakon
Jamus Kalimasada.
2.
Nilai
Filosofis
Pergelaran wayang senantiasa terdiri dari beberapa bagian atau
adegan yang saling bertalian antar satu dengan yang lain. Tiap-tiap bagian
melambangkan fase atau tingkat tertentu dari kehidupan manusia.[5]
Sedangkan dalam buku Semar dan Togog oleh Ardian Krisna menyebutkan
bahwa keberadaan wayang kulit purwa yang sarat dengan nilai hidup untuk
membangun perwatakan manusia jawa khususnya agar menjadi manusia yang
berkualitas sesuai dengan budaya Jawa, memuat beberapa nilai pokok yaitu:
1.
Wayang
Sebagai Sumber Nilai Hidup Masyarakat Jawa
Dalam setiap lakon wayang yang dipergelarkan, memuat ajaran-ajaran
bagaimana manusia seharusnya memberikan penghormatan kepada dirinya, kepada
sesama dan lingkungan alam sekitar maupun alam kasat mata (Ghaib). Penghormatan
tersebut merupakan kebutuhan adi kodrati manusia. Penghormatan kepada dewa
dalam dunia wayang melambangkan penghormatan kepada Tuhan. Penghormatan kepada
roh nenek moyang melambangkan penghormatan kepada leluhur, orangtua, guru dan
pemimpinnya.
Semua itu merupakan bukti keteladanan. Manusia dilahirkan di muka
bumi sebagai wakil Tuhan untuk memelihara dan mengatur isinya. Manusia harus
menjalankan semua perintah dan menjauhi segala laranganNya, sehingga manusia
Jawa diharapkan mampu berhubungan baik selaras dengan Sang Pencipta Alam agar
dapat mencapai kesempurnaan hidup ( manunggaling kawula Gusti ).
2.
Wayang
Sebagai Pendidikan Watak
Sejalan dengan misi para Wali dalam menyebarkan ajaran agama Islam
di Jawa, di saat menciptakan wayang beserta lakon dan tokoh-tokohnya adalah
fungsi si’ar Islam dengan memberikan nasehat-nasehat tentang kebaikan dan
wayang ternyata dapat dijadikan sarana untuk mendidik watak perbuatan manusia.
Misalnya, gambaran sosok pribadi tokoh Arjuna yang mudah terlena atas bujuk
rayu, gampang jatuh cinta tetapi senang bertapa/ tirakat/ prihatin/ mesu budhi.
3.
Wayang
Mengandung Nilai Keluhuran
Dalam berbagai lakon maupun cerita serta penggambaran
tokoh-tokohnya, wayang mampu menunjukkan nilai etika seperti pada tokoh satria
yang baik akan selalu berusaha mencapai:
“Kesempurnaan hidup” sebagai sebuah keharusan adi kodrati mengingat
tugas suci manusia adalah sebagi wakil Tuhan di bumi.
“Kesatuan sejati” berarti bahwa sebagai seorang satria diharapkan
mampu beradaptasi dengan lingkungan sosialnya dengan bersatu, memadu, rukun
dalam sebuah wadah kesatuan sebagai sebuah kebutuhan dan rasa tanggungjawab.
Dibuktikan dengan selalu beusaha menciptakan kesejahteraan dilingkungannya.
Begitu pula seorang satria yang baik harus memiliki Kesucian hati,
kebijaksanaan sejati, kesadaran sejati, kasih sayang sejati, tekad sejati,
pengabdian sejati, dan kekuatan sejati yang tertanam dalam pribadinya.[6]
Disamping itu ada lima ajaran pokok tentang nilai kebenaran yang
diajarkan dalam lakon wayang adalah:
1.
Manembah
(menyembah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)
2.
Menepi
(sabar, intropeksi diri dan menghindari pertengkaran)
3.
Maguru
(berguru mencari ilmu pengetahuan)
4.
Mangabdi
(mengabdi kepada keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara serta agama)
5.
Makarya
(bekerja tanpa pamrih untuk mencukupi kebutuhan dan mencapai kesejahteraan).[7]
D.
Manfaat dan Fungsi Wayang
Adapun manfaat yang dapat diambil dengan adanya peninggalan
benda-benda sejarah yang terdapat di Museum Ronggowarsito yang berupa koleksi
wayang adalah media pengenalan budaya khususnya jawa kepada peserta didik
ataupun masyarakat luas.
Secara garis besar fungsi wayang dibagi menjadi dua yakni fungsi
utamanya sebagai ekspresi seni dan untuk melayani keperluan di luar seni.
Wayang yang fungsi utamanya sebagai ekspresi seni- ungkapan jiwa yang dalam-
wayang telah secara luwes dan lentur dapat mengakomodasi berbagai kepentingan
masyarakat.Wayang dapat digunakan sebagai sarana upacara atau kepercayaan, pendidikan,
penerangan propaganda, hiburan, dan sebagainya.[8] Di
antara fungsi wayang adalah sebagai berikut:
1.
Fungsi
Religius
Berperan dalam upacara keagamaan yaitu lima yadnya: dewa, pitaka,
ashi, pitra dan manusa yadnya. Berbagai mantra untuk menolak makhluk halus dan
sebagai seruan jiwa leluhur. Untuk pagelaran jenis ini di jawa dikenal dengan
istilah murwakala.
2.
Fungsi
Sekular
Berperan sebagai hiburan semata-mata. Alat komunikasi untuk
menyampaikan pesan, ajaran luhur dan nilai moral. Lakon yang dimainkan di luar
murwakala.
3.
Fungsi
Tuntutan
Wayang bukan hanya sekedar sebagai sarana hiburan, tetapi juga
sebagai media komunikasi, media penyuluhan dan media pendidikan. Bahkan wayang
juga sebagai wahana pengabdian dalang bagi masyarakat, negara dan bangsa serta
umat manusia pada umumnya.[9]
IV.
ANALISIS
BUDAYA JAWA
Wayang merupakan identitas utama manusia Jawa. Demikian kata
Marbangun Hardjowirogo dalam Manusia Jawa (1983: 33), yaitu dalam bab yang
diberi judul “Manusia Jawa dan Wayang”. Juga Maria A. Sardjono, dalam buku
mutakhirnya yang berjudul Paham Jawa (1992) menurunkan satu bab dengan
judul yang sama: “Manusia Jawa dan Wayang” (p.22), di mana ia menerangkan
betapa lekatnya wayang dalam kehidupan manusia Jawa.[10]
Dari pernyataan yang dilontarkan oleh tokoh di atas. Adalah penting
apabila ingin memahami orang Jawa dan budayanya secara lebih mendalam, mau
tidak mau harus memahami wayang. Bagi orang Jawa sendiri khususnya, harus
mengerti wayang, jiak tidak sama saja ia tidak memahami terhadap jati dirinya
sendiri atau dengan kata lain wong Jawa ananging ora njawani. Karena tak
dapat dipungkiri bahwa kesenian hasil cipta asli orang Jawa ini menggambarkan
nilai-nilai pemandu kehidupan bagi manusia yang ceritanya diambil dari kisah
Ramayana dan Mahabarata.
Namun ironisnya, wayang dulu berbeda dengan wayang zaman sekarang.
Karena pementasan wayang sudah semakin jauh dari rakyat dan terdapat adanya
pergeseran fungsi utama pertunjukan wayang. Para dalang muda khususnya, hanya menampilkan
wayang sesuai selera pasar dengan dibubuhi humor yang berlebihan bahkan berbau
negatif yang merendahkan martabat manusia.
Melihat realita yang seperti ini, kualitas penyajian wayang perlu
dijaga, ditingkatkan, dan dilestarikan. Pertanyaan selanjutnya muncul, lalu
siapa yang berkewajiban melestarikan budaya nasional yang diakui oleh UNESCO
pada tanggal 7 November 2003 ini? Sudah barang tentu jika kita telah menyadari
bahwa wayang telah menjadi salah satu aset warisan nenek moyang, maka kewajiban
menjaga dan melestarikan wayang ini terletak pada pundak warga negara Indonesia
seluruhnya. Tetapi tentulah masyarakat Jawalah yang seharusnya merasa
terpanggil untuk nguri-nguri budaya yang sarat akan nilai-nilai luhur
pemandu kehidupan ini. Karena wayang merupakan sesuatu yang sangat melekat
dengan masyarakat Jawa, pun ia merupakan identik dengan jati diri orang Jawa.
V.
KESIMPULAN
Wayang menjadi salah satu hasil budaya Indonesia yang sudah
melegenda sejak zaman dahulu khususnya jawa. Bahkan keberadaan wayang ini telah
ada sebelum kerajaan Hindu masuk ke
Jawa. Ungkapan ini semakin menguatkan bahwa wayang ini murni hasil karya orang Jawa.
Ada berbagai jenis wayang yang dapat dijumpai dengan karakteristik
masing-masing karena antara satu wayang dengan wayang yang lain pasti mempunyai
makna dan fungsi yang berbeda.
Wayang adalah legenda yang ternyata mempunyai peranan penting dalam
mendidik dan mengembangkan pikiran ataupun kepribadian dalam hidup, khususnya
bagi generasi muda yang mampu memahaminya. Dalam setiap pementasan wayang
terkandung nilai-nilai kebudayaan dan kehidupan yang patut dijadikan pedoman
dalam hidup. Tidak sekadar seni namun fungsinya pun mencakup nilai-nilai
religious karena seiring berjalannya waktu, wayang digunakan sebagai media
dakwah oleh para wali.
Melihat fenomena saat ini, dimana Indonesia khususnya Jawa juga
sudah terkena dampak globalisasi. Akibatnya budaya asing dapat dengan mudah
keluar masuk diwilayah kita. Ini akan berakibat fatal apabila kita memfilter
budaya tersebut. Kita menjadi bangga dengan budaya asing dan malu dengan
khasanah budaya bangsa sendiri. Padahal untuk wayang ini pun sudah diakui dunia
dalam UNESCO pada tanggal 7 November 2003, dengan ini seharusnya kita bangga.
Karena ternyata budaya yang melegenda ini ternyata masih mampu bereksistensi
hingga zaman multidimensional ini.
Ungkapan yang ditemukan dalam beberapa referensi bahwa “wayang
adalah identitas orang Jawa” ini tentunya melalui proses penelitian yang
panjang dan sudah terbukti kevalid-annya. Maka dari itu karena ini identitas
orang Jawa maka yang seharusnya lebih mengenal dan nguri-nguri budaya
tersebut adalah orang Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Guritno, Pandam. 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan
Pancasila. Jakarta: UI-Press
Hermawati, et.all. 2006. Wayang: Koleksi Museum Jawa
Tengah. Semarang: Pemerintah Provinsi Jawa Tengah: Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan
Kresna, Ardian. 2010. Semar dan Togog; Yin Yang dalam Budaya
Jawa. Yogyakarta: Narasi
Murtiyoso, Bambang, et.all. 2004. Pertumbuhan dan
Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta: Citra Etnika Surakarta
Sujamto. 1992. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang: Dahara
Prize
[1] Pandam
Guritno. Wayang dan Kebudayaan Indonesia dan Pancasila.( Jakarta:
UI-Press. 1988). Cetakan ke-1. Hlm. 11
[2] Hermawati, et.all.
Wayang Koleksi Museum Jawa Tengah. (Semarang: Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah. 2006) Hlm. 40
[3] Ibid., Hlm. 6
[4] Pandam
Guritno. Op. Cit., Hlm. 15
[5]Hermawati, et.all. Op. Cit. Hlm. 21-22
[6] Ardian Kresna.
Semar dan Togog; Yin Yang dalam Budaya Jawa. (Yogyakarta: Narasi.2010).
Cet. Ke-1. Hlm. 15-16
[7] Ardian Kresna,
Ibid. Hlm. 17
[8]Bambang
Murtiyoso, et.all. Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan
Wayang. (Surakarta: Citra Etnika. 2004) Cet. 1. Hlm. 137
[9] Sujamto. Wayang
dan Budaya Jawa. (Semarang: Dahara Prize. 1992). Cet. kedua. Hlm. 26-27
[10]Ibid., Hlm. 19
Tidak ada komentar:
Posting Komentar