Minggu, 07 Juli 2013

Wayang Museum Ronggo Warsito



WAYANG

LAPORAN
Disusun Guna Memenuhi Tugas Kelompok
Mata Kuliah: Islam danBudayaJawa
DosenPengampu: M. RikzaChamami, M.S.I

                                                                                   

iain-walisongo1.jpg


Disusun oleh:
Nurul Hikmah Sofyan          (123111128)
Siti Eli Arifah                         (123111143)
UlfatulQoyimah                     (123111154)



FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2013




I.                   PENDAHULUAN
Wayang adalah legenda yang ternyata mempunyai peranan penting dalam mendidik dan mengembangkan pikiran ataupun kepribadian dalam hidup, khususnya bagi generasi muda. Dengan pementasan wayang dimana cerita yang diambil dari cerita-cerita epik besar India Ramayana dan Mahabharata khususnya, menyampaikan nilai-nilai pemandu kehidupan kepada masyarakat luas.
Diyakini dengan mempelajari wayang merupakan hal yang penting apabila ingin memahami orang Jawa secara lebih mendalam. Bagi orang Jawa, seorang pemimpin harus alus atau berbudi halus, elegan, bertutur kata lembut, sopan, mudah beradaptasi dan sensitif, dengan kekuatan dari dalam sehingga mampu memberi perintah secara tidak langsung dan sopan, yang di permukaan tampak seperti merendahkan diri.
Museum Ronggowarsito merupakan museum umum yang koleksi benda-benda sejarahnya berasal dari berbagai daerah di Indonesia, khususnya Jawa. Nama museum ini diambil dari nama seorang pujangga dari Surakarta yaitu, Raden Ngabehi Ranggawarsita (5 Maret 1808- 24 Desember 1873).

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa pengertian wayang dan bagaimana sejarah perkembangannya?
B.     Apa saja koleksi wayang-wayang yang berada di Museum Ronggowarsito?
C.     Apa saja nilai-nilai yang terkandung dalam wayang?
D.    Apa fungsi dari wayang?

III.             HASIL PENGAMATAN
A.    Pengertian Wayang dan Sejarahnya
Arti harfiah dari wayang adalah bayangan, tetapi dalam perjalanan waktu pengertian wayang itu berubah, dan kini wayang dapat berarti pertunjukkan panggung atau teater atau dapat pula berarti aktor dan aktris. Wayang sebagai seni teater berarti pertunjukan panggung dimana  sutradara ikut bermain. Jadi berbeda dari sandiwara atau film di mana sutradara tidak muncul sebagai pemain. Adapun sutradara dalam pertunjukan wayang itu dikenal sebagai dalang.[1]
Wayang dalam bahasa Jawa  berarti bayangan, dalam bahasa Melayu disebut bayang-bayang. Dalam bahasa Aceh berarti baying. Dalam bahasa Bugis wayang atau bayang, dalam bahasa Bikol dikenal dengan kata baying artinya barang yaitu apa yang dapat dilihat dengan nyata.[2]
Buku-buku Jawa Kuno memuat permulaan adanya wayang. Dalam buku itu dinyatakan bahwa wayang adalah gambaran fantasi tentang bayangan manusia (Jawa: ayang-ayang). Perkembangan wayang pada masa-masa berikutnya adalah wayang diartikan sebagai bayang-bayang boneka yang dimainkan di atas layar putih. Pengertian itu telah menunjuk pada dua dimensi, yaitu boneka wayang kulit (Sri Mulyono, Ir, 1978: 39-49).
Atas dasar kepercayaan orang kepada roh nenek moyang maka wayang diartikan sebagai bayangan roh nenek moyang. Untuk memvisualisasikannya dibuatlah boneka yang diproyeksikan pada sehelai layar putih. Boneka berfungsi sebagai tempat sementara roh yang datang, sedangkan bayangan bonekasebagai bayangan roh yang tinggal sementara di dalam boneka.
Gagasan tentang wayang telah ada sebelum ada kebudayaan Hindu masuk ke Jawa (Harjowirogo, 1964: 211). Maka dari itu dapat dikatakan bahwa wayang merupakan buatan asli orang Jawa. Dasar penciptaannya adalah kepercayaan terhadap kekuatan ghaib yang datang dari roh nenek moyang. Kepercayaan tersebut disebut kepercayaan animisme.[3]


B.     Koleksi Wayang yang berada di Museum Ronggowarsito
Terdapat beraneka ragam koleksi wayang yang tersimpan di Museum Ronggowarsito. Adapun rinciannya adalah sebagai berikut:

1.      Wayang Kulit Purwa
Merupakan jenis wayang yang paling popular di masyarakat sampai saat ini. Wayang yang paling banyak disoroti di dalam maupun di luar negeri sejarah perkembangannya telah diketahui paling tidak sejak abad ke 11, yang telah dijadikan objek studi para sarjana dalam dan luar negeri selama berabad-abad.[4]
Cerita yang diambil dari kisah Mahabarata dan Ramayana. Wayang tersebut dimainkan oleh seorang dalang, wayang ini terbuat dari lembaran kulit kerau atau sapi yang dipahat menurut bentuk wayang. Dan kemudian disungging dengan warna-warni yang mencerminkan perlambangan karakter dari sang tokoh. Cempurit adalah kerangka yang terbuat dari tanduk kerbau atau kulit penyu. Yang digunakan sebagai penguat agar lembaran wayang tidak lemas.
2.      Wayang Kayu
Kesenian wayang ternyata berkembang tidak saja dalam bentuk kisah, tokoh, perlengkapan, tetapi juga bahan bakunya. Sunan Kudus tahun 1574 yang hidup di lingkungan pengrajin kayu menciptakan boneka-boneka wayang dari kayu dalam bentuk 3 dimensi dan dikenal sebagai wayang Golek Purwa. Kata Golek sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti boneka. Juga berkonotasi mencari sesuai pola tariannya yang selalu berputar seolah-olah mencari-cari.
Perkembangan berikutnya dibuat tokoh-tokoh wayang dari kayu pipih. Yang dikenal sebagai wayang Klithik atau wayang Krucil dan dibuat pada masa Sri Susuhunan Paku Buwono II.
3.      Wayang Topeng
Wayang Topeng merupakan perpaduan drama dan tari. Pemainnya memakai topeng yang memerankan tokoh untuk mempertegas watak atau karakter tokoh.
Tipe topeng yang banyak dikenal yakni:
a.       Jawa Tengahan: Dagu Ramping, Sungging warna campuran.
b.      Jawa Timuran: Dagu Tumpul, Sungging warna dasar merah, putih dan hitam.
Sedangkan bentuknya meliputi bentuk gagahan dan alusan.
a.       Topeng Kelana gaya Jogjakarta
b.      Topeng Kelana gaya Cirebonan
c.       Topeng Endel
d.      Topeng Sumbang banyu gaya Surakarta
Wayang Topeng koleksi Museum Jawa Tengah Ronggo Warsito adalah Topeng Gedhog, pakaian topeng berfungsi untuk mempertegas watak para tokoh wayang Panji.
4.      Wayang Golek
a.       Wayang Golek Jawa
b.      Wayang Golek Menak
c.       Wayang Golek Purwa


5.      Wayang Kancil
Wayang Kancil diciptakan pada tahun 1925 oleh seorang peminat seni wayang keturunan China bernama Bo Liem. Wayang ini terbuat dari kulit dan menggunakan toko binatang sebagai peraganya.
6.      Wayang Panakawan
Panakawan dalam pewayangan disebut juga Pamong. Kata panakawan berarti teman yang menghibur, yang menghibur dan memberi semangat dan motivasi. Tokoh Panakawan asli Indonesia tidak terdapat dalam Kitab Mahabarata maupun Ramayana. Kehadiran mereka dalam dunia pewayangan, juga dalam alur ceritanya, bukan hanya sebagai bumbu penyedap saja melainkan tokoh pembawa konsep religi dan konsep filsafat dalam cerita wayang.
7.      Wayang Sadat
Wayang ini diciptakan oleh Suryadi Warno Suhardjo. Seorang guru matematika SPG Muhammadiyah di Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Wayang ini sepenuhnya bernafaskan Islam dengan suasana pesantren dan dalam penyampaiannya tetap menggunakan dasar budaya Jawa. Bentuk wayang peraga dibuat lebih realistik dibandingkan dengan bentuk peraga wayang kulit Purwa. Sunggingan wayang Sadat lebih meriah dibandingkan dengan wayang kulit Purwa dengan menggunakan warna-warna yang lebih cerah.
Yang unik dari pagelaran wayang ini adalah suara pukulan bedhug bertalu-talu disusul dengan ucapan assalamualaikum oleh dalang yang memainkan wayang sebagai penanda dibukanya pagelaran wayang Sadat. Dan cerita yang ditampilkan dalam wayang diambil dari kisah para wali dan riwayat penyebaran Islam di Pulau Jawa. Wayang ini digunakan sebagai keperluan dakwah Islam yang sering dikaitkan dengan kata syahadatin dalam penamaannya sebagai akronim sarana dakwah dan tabligh.
8.      Wayang Wahyu
Terbuat dari kulit tetapi corak tatahan dan sunggingannya sedikit naturalistik. Wayang ini mengambil cerita dari Kitab Injil, baik perjanjian lama maupun perjanjian baru, bahasa pengantarnya adalah bahasa Jawa. Perkembangan Wayang Wahyu terbatas pada lingkungan masyarakat beragama Katholik yang berasal dari suku Jawa. Wayang ini diciptakan oleh Broder T. Mardi Subroto. Pada tahun 1960.
9.      Wayang Duporo
Diciptakan oleh seorang bangsawan Surakarta Danuatmaja pertengahan abad 19. Menceritakan kisah perkembangan Kerajaan Demak sampai dengan Kerajaan Mataram (Perang Diponegoro).
10.  Wayang Budha
Jenis wayang kreasi baru ini diciptakan pada tahun 1978 oleh Prapto, AS Budiono dan Hajar Satoto dari Surakarta. Wayang ini pertama kali ditampilkan di hadapan umum di pusat kesenian wayang Jawa Tengah, Sasana-mulya Surakarta. Cerita pada wayang ini diambilkan dari ajaran agama Budha, yang mana saat ini tidak lagi dipergelarkan.
11.  Wayang Klitik Gedhog
Wayang Klitik Gedhog terbuat dari kayu pipih yang dibentuk dan disungging menyerupai wayang Kulit Madya. Dibandingkan dengan wayang kulit umumnya wayang Klitik ukurannya lebih kecil dan pendek. Hanya bagian tangan peraga wayang itu bukan dari kayu pipih melainkan terbuat dari kulit agar lebih awet dan ringan dalam menggerakannya .
Pementasan wayang kulit Klitik Gedhog juga diiringi oleh gamelan berlaras Slendro dan memakai pesinden tetapi tanpa menggunakan kelir sehingga penonton dapat melihat secara langsung.
Dalam pagelarannya, dalang wayang Klitik Gedhog tidak menyanyikan suluk, melainkan tembang. Pergelarannya biasanya dilakukan pada siang hari. Cerita yang dilakonkan pada wayang ini umumnya adalah kisah Damarwulan di zaman Majapahit. Para tokohnya biasanya mengenakan senjata keris dan golok yang diciptakan pada masa Amangkurat I.
12.  Wayang Warta
Wayang ini menceritakan kisah yang bersumber dari Kitab Injil, yang diciptakan oleh R. Soemiyanto dari Kabupaten Klaten.
13.  Wayang Gedhog
Wayang ini menceritakan kisah Jenggala sampai dengan jaman Pajajaran, berupa mitos dan sejarah yang diambil dari Serat Panji. Tokoh-tokohnya berciri khas memakai kuluk, wanita berambut panjang, pria bersarung, memakai rapek, kalung, gelang, anting-anting, dan kelat bahu. Nama tokoh yang berinisial binatang seperti lembu tani luhur, kuda wana pati, diciptakan pada masa Sri Mangku Negoro IV dan diiringi gamelan Laras Pelog.
14.  Wayang Kanda
Merupakan wayang yang menceritakan mengenai kisah lahir hingga gugurnya Rahwana yang dikarang oleh Empu Walmiki. Adapun pengaruhnya dalam sastra Indonesia dapat dilihat pada hikayat seri Rama, cerita tersebut  terdiri dari tujuh kanda, yaitu:
v  Balakandha               : mengisahkan masa kecil Rama dan saudaranya, Rama memperoleh Sinta melalui sayembara.
v  Ayodyakandha         : menceritakan kisah pembuangan dan pengembaraan Rama, Sinta, dan Lesmana.
v  Arannyakandha           : mengisahkan tentang pertemuan Rama, Sinta dan Lesmana dengan raksasa perempuan, adik Rahwana.
v  Kiskendakandha         : mengisahkan tentang perjumpaan dan persahabatan Rama dengan raja Kera “Sugriwa”.
v  Sundarakandha           : menceritakan tentang kepergian Hanoman ke Alengka sebagai utusan mata-mata Rama.
v  Yudhakandha             : mengisahkan tentang peperangan antara bala tentara Rama dengan bala tentara Rahwana.
v  Uttarakandha              : mengisahkan mengenai asal-usul Rahwana dan negaranya serta kisah terakhir Rama.
15.  Wayang Beber
Wayang Beber diciptakan pada zaman Majapahit, nama tersebut diberikan karena teknik pementasannya dengan cara membentangkan kain yang bergambar wayang yang semula digulung. Isi cerita Lakon Panji dan Lakon Purwa. Satu lakon berisi adegan, sedangkan satu gulung terdiri dari empat adegan, maka satu cerita terdiri dari empat gulung. Wayang beber ini pertama kali dipertunjukkan pada tahun 141 M. 

C.    Nilai-Nilai yang Terkandung dalam Wayang
Pergelaran wayang tersaji dalam bentuk satu cerita yang disebut lakon. Semula suatu lakon menggambarkan kehidupan para leluhur. Lama kelamaan, pada zaman Hindu lakon para leluhur bergeser dengan lakon kepahlawanan dari India yang dipetik dari kitab Mahabarata atau Ramayana namun dalam perkembangannya dasar lakon yang asli sukar ditemukan kembali. Kemudian lakon dari kitab Mahabarata atau Ramayana diadopsi oleh orang Jawa, akhirnya berisi muatan kepribadian dan nilai-nilai kehidupan Jawa.
Pergelaran wayang semalam suntuk atau selama 2-3 jam (Sewangi, 1999:25) mengandung banyak nilai, yakni:

1.      Nilai Religius.
Seperti yang telah diuraikan terdahulu bahwa mula-mula pertunjukan wayang dimaksudkan untuk memuja roh nenek moyang. Pada zaman kerajaan Demak, pertunjukkan wayang dimanfaatkan untuk menyebarkan agama Islam, misalnya lakon Jamus Kalimasada.
2.      Nilai Filosofis
Pergelaran wayang senantiasa terdiri dari beberapa bagian atau adegan yang saling bertalian antar satu dengan yang lain. Tiap-tiap bagian melambangkan fase atau tingkat tertentu dari kehidupan manusia.[5]
Sedangkan dalam buku Semar dan Togog oleh Ardian Krisna menyebutkan bahwa keberadaan wayang kulit purwa yang sarat dengan nilai hidup untuk membangun perwatakan manusia jawa khususnya agar menjadi manusia yang berkualitas sesuai dengan budaya Jawa, memuat beberapa nilai pokok yaitu:

1.      Wayang Sebagai Sumber  Nilai Hidup Masyarakat Jawa
Dalam setiap lakon wayang yang dipergelarkan, memuat ajaran-ajaran bagaimana manusia seharusnya memberikan penghormatan kepada dirinya, kepada sesama dan lingkungan alam sekitar maupun alam kasat mata (Ghaib). Penghormatan tersebut merupakan kebutuhan adi kodrati manusia. Penghormatan kepada dewa dalam dunia wayang melambangkan penghormatan kepada Tuhan. Penghormatan kepada roh nenek moyang melambangkan penghormatan kepada leluhur, orangtua, guru dan pemimpinnya.
Semua itu merupakan bukti keteladanan. Manusia dilahirkan di muka bumi sebagai wakil Tuhan untuk memelihara dan mengatur isinya. Manusia harus menjalankan semua perintah dan menjauhi segala laranganNya, sehingga manusia Jawa diharapkan mampu berhubungan baik selaras dengan Sang Pencipta Alam agar dapat mencapai kesempurnaan hidup ( manunggaling kawula Gusti ).

2.      Wayang Sebagai Pendidikan Watak
Sejalan dengan misi para Wali dalam menyebarkan ajaran agama Islam di Jawa, di saat menciptakan wayang beserta lakon dan tokoh-tokohnya adalah fungsi si’ar Islam dengan memberikan nasehat-nasehat tentang kebaikan dan wayang ternyata dapat dijadikan sarana untuk mendidik watak perbuatan manusia. Misalnya, gambaran sosok pribadi tokoh Arjuna yang mudah terlena atas bujuk rayu, gampang jatuh cinta tetapi senang bertapa/ tirakat/ prihatin/ mesu budhi.

3.      Wayang Mengandung Nilai Keluhuran
Dalam berbagai lakon maupun cerita serta penggambaran tokoh-tokohnya, wayang mampu menunjukkan nilai etika seperti pada tokoh satria yang baik akan selalu berusaha mencapai:
“Kesempurnaan hidup” sebagai sebuah keharusan adi kodrati mengingat tugas suci manusia adalah sebagi wakil Tuhan di bumi.
“Kesatuan sejati” berarti bahwa sebagai seorang satria diharapkan mampu beradaptasi dengan lingkungan sosialnya dengan bersatu, memadu, rukun dalam sebuah wadah kesatuan sebagai sebuah kebutuhan dan rasa tanggungjawab. Dibuktikan dengan selalu beusaha menciptakan kesejahteraan dilingkungannya.
Begitu pula seorang satria yang baik harus memiliki Kesucian hati, kebijaksanaan sejati, kesadaran sejati, kasih sayang sejati, tekad sejati, pengabdian sejati, dan kekuatan sejati yang tertanam dalam pribadinya.[6]
Disamping itu ada lima ajaran pokok tentang nilai kebenaran yang diajarkan dalam lakon wayang adalah:
1.      Manembah (menyembah kepada Tuhan Yang Maha Kuasa)
2.      Menepi (sabar, intropeksi diri dan menghindari pertengkaran)
3.      Maguru (berguru mencari ilmu pengetahuan)
4.      Mangabdi (mengabdi kepada keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara serta agama)
5.      Makarya (bekerja tanpa pamrih untuk mencukupi kebutuhan dan mencapai kesejahteraan).[7]

D.    Manfaat dan Fungsi Wayang
Adapun manfaat yang dapat diambil dengan adanya peninggalan benda-benda sejarah yang terdapat di Museum Ronggowarsito yang berupa koleksi wayang adalah media pengenalan budaya khususnya jawa kepada peserta didik ataupun masyarakat luas.
Secara garis besar fungsi wayang dibagi menjadi dua yakni fungsi utamanya sebagai ekspresi seni dan untuk melayani keperluan di luar seni. Wayang yang fungsi utamanya sebagai ekspresi seni- ungkapan jiwa yang dalam- wayang telah secara luwes dan lentur dapat mengakomodasi berbagai kepentingan masyarakat.Wayang dapat digunakan sebagai sarana  upacara atau kepercayaan, pendidikan, penerangan propaganda, hiburan, dan sebagainya.[8] Di antara fungsi wayang adalah sebagai berikut:
1.      Fungsi Religius
Berperan dalam upacara keagamaan yaitu lima yadnya: dewa, pitaka, ashi, pitra dan manusa yadnya. Berbagai mantra untuk menolak makhluk halus dan sebagai seruan jiwa leluhur. Untuk pagelaran jenis ini di jawa dikenal dengan istilah murwakala.
2.      Fungsi Sekular
Berperan sebagai hiburan semata-mata. Alat komunikasi untuk menyampaikan pesan, ajaran luhur dan nilai moral. Lakon yang dimainkan di luar murwakala.
3.      Fungsi Tuntutan
Wayang bukan hanya sekedar sebagai sarana hiburan, tetapi juga sebagai media komunikasi, media penyuluhan dan media pendidikan. Bahkan wayang juga sebagai wahana pengabdian dalang bagi masyarakat, negara dan bangsa serta umat manusia pada umumnya.[9]

IV.             ANALISIS BUDAYA JAWA
Wayang merupakan identitas utama manusia Jawa. Demikian kata Marbangun Hardjowirogo dalam Manusia Jawa (1983: 33), yaitu dalam bab yang diberi judul “Manusia Jawa dan Wayang”. Juga Maria A. Sardjono, dalam buku mutakhirnya yang berjudul Paham Jawa (1992) menurunkan satu bab dengan judul yang sama: “Manusia Jawa dan Wayang” (p.22), di mana ia menerangkan betapa lekatnya wayang dalam kehidupan manusia Jawa.[10]
Dari pernyataan yang dilontarkan oleh tokoh di atas. Adalah penting apabila ingin memahami orang Jawa dan budayanya secara lebih mendalam, mau tidak mau harus memahami wayang. Bagi orang Jawa sendiri khususnya, harus mengerti wayang, jiak tidak sama saja ia tidak memahami terhadap jati dirinya sendiri atau dengan kata lain wong Jawa ananging ora njawani. Karena tak dapat dipungkiri bahwa kesenian hasil cipta asli orang Jawa ini menggambarkan nilai-nilai pemandu kehidupan bagi manusia yang ceritanya diambil dari kisah Ramayana dan Mahabarata.
Namun ironisnya, wayang dulu berbeda dengan wayang zaman sekarang. Karena pementasan wayang sudah semakin jauh dari rakyat dan terdapat adanya pergeseran fungsi utama pertunjukan wayang. Para dalang muda khususnya, hanya menampilkan wayang sesuai selera pasar dengan dibubuhi humor yang berlebihan bahkan berbau negatif yang merendahkan martabat manusia.
Melihat realita yang seperti ini, kualitas penyajian wayang perlu dijaga, ditingkatkan, dan dilestarikan. Pertanyaan selanjutnya muncul, lalu siapa yang berkewajiban melestarikan budaya nasional yang diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003 ini? Sudah barang tentu jika kita telah menyadari bahwa wayang telah menjadi salah satu aset warisan nenek moyang, maka kewajiban menjaga dan melestarikan wayang ini terletak pada pundak warga negara Indonesia seluruhnya. Tetapi tentulah masyarakat Jawalah yang seharusnya merasa terpanggil untuk nguri-nguri budaya yang sarat akan nilai-nilai luhur pemandu kehidupan ini. Karena wayang merupakan sesuatu yang sangat melekat dengan masyarakat Jawa, pun ia merupakan identik dengan jati diri orang Jawa.

V.                KESIMPULAN
Wayang menjadi salah satu hasil budaya Indonesia yang sudah melegenda sejak zaman dahulu khususnya jawa. Bahkan keberadaan wayang ini telah ada sebelum kerajaan  Hindu masuk ke Jawa. Ungkapan ini semakin menguatkan bahwa wayang ini murni hasil karya orang Jawa. Ada berbagai jenis wayang yang dapat dijumpai dengan karakteristik masing-masing karena antara satu wayang dengan wayang yang lain pasti mempunyai makna dan fungsi yang berbeda.
Wayang adalah legenda yang ternyata mempunyai peranan penting dalam mendidik dan mengembangkan pikiran ataupun kepribadian dalam hidup, khususnya bagi generasi muda yang mampu memahaminya. Dalam setiap pementasan wayang terkandung nilai-nilai kebudayaan dan kehidupan yang patut dijadikan pedoman dalam hidup. Tidak sekadar seni namun fungsinya pun mencakup nilai-nilai religious karena seiring berjalannya waktu, wayang digunakan sebagai media dakwah oleh para wali.
Melihat fenomena saat ini, dimana Indonesia khususnya Jawa juga sudah terkena dampak globalisasi. Akibatnya budaya asing dapat dengan mudah keluar masuk diwilayah kita. Ini akan berakibat fatal apabila kita memfilter budaya tersebut. Kita menjadi bangga dengan budaya asing dan malu dengan khasanah budaya bangsa sendiri. Padahal untuk wayang ini pun sudah diakui dunia dalam UNESCO pada tanggal 7 November 2003, dengan ini seharusnya kita bangga. Karena ternyata budaya yang melegenda ini ternyata masih mampu bereksistensi hingga zaman multidimensional ini.
Ungkapan yang ditemukan dalam beberapa referensi bahwa “wayang adalah identitas orang Jawa” ini tentunya melalui proses penelitian yang panjang dan sudah terbukti kevalid-annya. Maka dari itu karena ini identitas orang Jawa maka yang seharusnya lebih mengenal dan nguri-nguri budaya tersebut adalah orang Jawa khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.











DAFTAR PUSTAKA

Guritno, Pandam. 1988. Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila. Jakarta: UI-Press
Hermawati, et.all. 2006. Wayang: Koleksi Museum Jawa Tengah. Semarang: Pemerintah Provinsi Jawa Tengah: Dinas Pendidikan dan Kebudayaan
Kresna, Ardian. 2010. Semar dan Togog; Yin Yang dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Narasi
Murtiyoso, Bambang, et.all. 2004. Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. Surakarta: Citra Etnika Surakarta
Sujamto. 1992. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang: Dahara Prize


[1] Pandam Guritno. Wayang dan Kebudayaan Indonesia dan Pancasila.( Jakarta: UI-Press. 1988). Cetakan ke-1. Hlm. 11
[2] Hermawati, et.all. Wayang Koleksi Museum Jawa Tengah. (Semarang: Pemerintah Provinsi Jawa Tengah. 2006) Hlm. 40
[3] Ibid., Hlm. 6
[4] Pandam Guritno. Op. Cit., Hlm. 15
[5]Hermawati, et.all.  Op. Cit. Hlm. 21-22
[6] Ardian Kresna. Semar dan Togog; Yin Yang dalam Budaya Jawa. (Yogyakarta: Narasi.2010). Cet. Ke-1. Hlm. 15-16
[7] Ardian Kresna, Ibid. Hlm. 17
[8]Bambang Murtiyoso, et.all. Pertumbuhan dan Perkembangan Seni Pertunjukan Wayang. (Surakarta: Citra Etnika. 2004) Cet. 1. Hlm. 137
[9] Sujamto. Wayang dan Budaya Jawa. (Semarang: Dahara Prize. 1992). Cet. kedua. Hlm. 26-27
[10]Ibid., Hlm. 19



Tidak ada komentar:

Posting Komentar