Minggu, 15 Juni 2014

TEOLOGI ISLAM

I.                   PENDAHULUAN
Islam adalah nama bagi agama yang dibawa atau disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya, wahyu yang terkodifikasikan dalam apa yang dikenal dengan mushaf, yang secara umum disebut dengan al-Qur’an. Al-Qur’an menjadi sumber utama agama ini, sedangkan praktek Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan maupun penetapan merupakan sumber kedua yang disebut dengan sunnah Rasul.
Jika dalam makalah sebelumnya membahas mengenai sejarah agama Islam. Makalah kali ini akan membahas tentang teologi Islam yang meliputi teologi, syariat dan etika.   
II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Apa yang dimaksud dengan teologi dalam agama Islam!
B.     Bagaimana syariat dalam agama Islam?
C.     Apa yang dimaksud dengan etika dalam Islam?
III.             PEMBAHASAN
A.    Teologi dalam agama Islam
Teologi dari segi etimologi berasal dari bahsa yunani yaitu theologia. Yang terdiri dari kata theos yang berarti tuhan atau dewa, dan logos yang artinya ilmu. Sehingga teologi adalah pengetahuan ketuhanan . menurut William L. Resse, Teologi berasal dari bahasa Inggris yaitu theology yang artinya discourse or reason concerning god (diskursus atau pemikiran tentang tuhan) dengan kata-kata ini Reese lebih jauh mengatakan, “teologi merupakan disiplin ilmu yang berbicara tentang kebenaran wahyu serta independensi filsafat dan ilmu pengetahuan. Gove mengatkan bahwa teologi merupakan penjelasan tentang keimanan, perbuatan, dan pengalaman agama secara rasional.[1]
Islam memelihara dunia tempat tinggal sementara manusia sebagai faktor yang mungkin dalam skema penciptaan Tuhan dan sebuah tempat penting dalam evolusi kehidupan jiwa. Konsekuensinya, pencarian penguatan spiritual manusia bukanlah untuk melepaskan dunia materi, tetapi sebagi usaha aktif terhadap Tuhan dengan sebuah pandangan untuk menemukan basis kehidupan nyata yang teratur.
Kehidupan ideal bukanlah yang membuang jauh-jauh keinginan dunia dan menghindari alam kebendaan serta membunuh hasrat diri yang sungguh menyakitkan. Sebaliknya, segala hasrat yang ada dalam diri dan alam kebendaan adalah sarana yang harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, harus diarahkan untuk ketinggian spiritual manusia karena dorongan jiwa itu tidak dapat dibuang melainkan diarahkan. Oleh sebab itu, islam tidak memandang rendah aktivitas dan eksistensi duniawi selama masih sesuai dengan keyakinan yang dipegang seorang muslim.[2]
Terdapat  tiga komponen dasar agama Islam, yakni Iman, Islam dan Ihsan. Ketiga komponen tersebut tidak berdiri sendiri-sendiri. Keimanan mendasari perbuatan dan perbuatan tidak hanya dilakukan sesuai dengan aturan-aturan lahiriyah, melainkan berangkat dari rasa tanggungjawab sebagai pemegang mandat dari Tuhan.
Pemahaman iman atau akidah terklarifikasikan menjadi enam yaitu:
1.             Makrifat kepada Allah SWT, kepada nama-nama-Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang luhur, kepada dalil-dalil tentang eksistensi Allah dan realitas keagungan-Nya di alam semesta.
2.             Makrifat kepada alam di balik alam yang riil ini atau alam yang tidak terlihat oleh mata dan hal-hal yang terkandung di dalamnya seperti kekuatan baik yang menyerupai malaikat dan kekuatan jahat yang menyerupai iblis dan para tentaranya. Demikian juga makrifat kepada hal-hal yang terkandung di alam semesta seperti jin dan roh.
3.             Makrifat kepada kitab-kitab Allah yang diturunkan untuk membatasi dan menjembatani tanda-tanda kebenaran dan kebatilan, baik dan jahat, halal dan haram, bagus dan buruk.
4.             Makrifat kepada Nabi dan para utusan Allah yang terpilih agar mereka menjadi oanji petunjuk dan menjadi pimpinan menuju kebenaran.
5.             Makrifat kepada hari akhir dan hal-hal yang terkandung di dalamnya seperti hari kebangkitan dan hari pembalasan, pahala dan siksaan, neraka dan surga.
6.             Makrifat kepada qadla (kepastian Allah) yang berlaku pada tatanan alam semesta tentang ciptaan dan pengaturan.[3]
B.     Syariat dalam Agama Islam
Syari’at (شريعة) dari bahasa Arab yang berarti: jalan ke sumber air atau jalan yang harus diikuti, yakni jalan ke arah sumber pokok bagi kehidupan. Dalam pemakaiannya yang bersifat religious, kata syariah mempunyai arti jalan kehidupan yang baik, yaitu nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dan dalam makna yang konkrit, yang ditujukan untuk mengarahkan kehidupan manusia. Syari’at disamakan dengan jalan air, mengingat bahwa barang siapa yang mengikuti syariah, ia akan mengalir dan bersih jiwanya. Allah menjadikan air sebagai penyebab kehidupan tumbuh-tumbuhan dan hewan sebagaimana menjadikan syariah sebagai penyebab kehidupan jiwa manusia.[4]
Syariat dalam Islam tergambarkan melalui rukun Islam yang terdiri dari lima hal, yaitu:
1)            Membaca dua kalimah syahadat. Syahadat tauhid menyatakan peniadaan sembahan, ketergantungan dan pengabdian manusia selain kepada Allah. Implikasi syahadat secara individual adalah kejujuran kepada diri sendiri. Implikasi sosialnya adalah dengan persaksian tersebut seseorang telah masuk komunitas Muslim. Tentunya sebagai seorang Muslim memiliki hak-hak dan kewajiban yang harus ditunaikan sesuai dengan ajaran Islam.
2)            Mendirikan sholat. Shalat dilakukan setiap hari lima kali sehingga kalau tidak dilakukan dengan kesungguhan hati dan pembiasaan yang panjang akan sulit dilakukan. Mendirikan mengandung pengertian melaksanakan dengan kesungguhan dan dapat mengatasi berbagai kesulitan. Sebagaimana keterangan dalam al-Qur’an sendiri dikatakan bahwa shalat itu berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk, yakni orang-orang yang yakin bertemu dengan Allah dan akan kembali kepada-Nya.
3)            Berpuasa sepanjang bulan Ramadhan. Berpuasa hakikatnya adalah menahan diri tidak hanya dari makan dan minum semata, tetapi mencakup juga menahan diri dari segala aktivitas mental dan fisik yang tidak terpuji.
4)            Membayar zakat. Wajib dilakukan oleh orang yang mampu di mana macam pembayarannya ada dua jenis yaitu, zakat fithrah dan zakat mal.
5)            Menunaikan haji. Kewajiban sekali dalam seumur hidup bagi orang yang mampu secara lahir dan bathin. Namun jika melihat fenomena sekarang, banyak orang berkali-kali menunaikan haji. Kritik yang muncul atas tindakan tersebut adalah semestinya biaya yang dipakai untuk haji digunakan untuk kebajikan yang lain yang lebih bermanfaat bagi orang lain. Dan juga memberikan kesempatan bagi orang yang mampu dan belum haji sebelumnya untuk berhaji.[5]
C.    Etika Islam
Etika merupakan kata lain dari bahasa Arab, Khulq jamaknya Akhlaq, dalam bahasa Indonesia dikenal dengan akhlak. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Jika sebagai ilmu, maka etika merupakan ilmu yang menyelidiki segala perbuatan manusia kemudian menetapkan hukum baik dan buruk.
Dalam konteks perbuatan manusia, semakin “bebas” perbuatan manusia maka semakin tinggi pertanggungjawabannya kepada orang lain termasuk kepada Tuhan. Sementara semakin “terpaksa”, maka semakin ringan tingkat pertanggungjawabannya atas perbuatan yang dilakukannya.
Berdasarkan petunjuk al-Qur’an dan Hadits Nabi maka etika/akhlak merupakan bukti pengangkatan Nabi Muhammad SAW, di mana Nabi mempunyai akhlak terpuji, terpilih sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an.
Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.(QS. Al-Qalam:4)
Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Achmad dan Imam Malik “Sesungguhnya Aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”.
Mengingat etika Islam berdasarkan pada al-Qur’an dan Hadits, maka dari sana pula seseorang dinilai baik dan buruk perbuatannya, apakah sesuai atau tidak dengan dua sumber etika tersebut. Berikut adalah prinsip-prinsip Etika Islam.
Ø   Etika terhadap Allah
Etika ini dimulai dengan kesadaran yang terpatri tentang tauhid (pengesaan Allah) sebagai sesuatu yang mutlak, tidak ada yang menyamai, menandingi dalam segala sifat yang dimilikinya. Pengesaan Allah diawali dengan pengakuan yang tertera dalam dua kalimah syahadat.
Allah Maha Kuasa atas segala yang ada. Manusia tidak berhak angkuh apalagi sombong karena manusia adalah makhluk yang terbatas, faqir dan lemah dihadapan Tuhan.
 
Hai manusia, kamulah yang berkehendak kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. (QS. Al-Fathir:15)
Etika kepada Allah ini bisa dilakukan dengan berbuat baik serta meninggalkan larangan-Nya dengan selalu memohon akan limpahan taufiq, rahmat serta hidayah-Nya.
Ø   Etika terhadap Rasul
Rasul dalam Islam merupakan bagian dari rukun iman sehingga harus diyakini dan dipatuhi apa yang menjadi tuntunannya. Rasul adalah orang-orang terpilih dan terpuji karena segala perbuatannya dikontrol langsung oleh Allah, sehingga Nabi Muhammad misalnya, dikatakan sebagai “kitab suci berjalan”. Sebagai pembawa ajaran Allah Rasulullah harus dipercayai sebagai penyambung al-Qur’an yang diturunkan kepadanya dan diperuntukkan untuk umatnya, sebab kebenarannya selalu dijaga oleh Allah SWT. Oleh karena itu etika Islam mengajarkan menaati Rasulullah Muhammad SAW, karena apa yang menjadi perkataan, kebiasaan dan perbuatannya merupakan bagian tak terpisahkan dari ajaran Islam.
Kaitannya dengan perbuatan manusia, maka rasul diutus ke bumi untuk menyempurnakan akhlak manusia. Manusia yang ingin akhlaknya sempurna harus mengikuti apa yang diajarkan Rasulullah  karena beliau memiliki ketinggian akhlak. Beliau senantiasa berbuat atau bertindak dengan benar sesuai dengan petunjuk Allah. Mereka para rasul memiliki pribadi luhur (shidiq, amanah, fathanah dan tabligh). Ketaatan kepada rasul tidak berarti harus menyembah rasul, melainkan mencontoh perbuatan, perkataannya akan tidak tergelincir ke jalan yang sesat. Sebagaimana tertuang dalam firman-Nya
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. (QS. An-Nisa’: 59)
Ø   Etika sesama Manusia
Kehadiran manusia ke dunia menurut al-Qur’an bukan hanya kebetulan, tetapi manusia hadir dengan segala tanggungjawab yang dipikulnya. Manusia hadir sebagai khalifatullah fil ardh (wakil Allah di bumi), karena itu manusia hadir dengan segala eksistensi yang menyertainya. Eksisitensi inilah yang biasanya berupa kegiatan-kegiatan yang akan menentukan kualitas hidupnya. Banyak ayat yang menyatakan tentang hal tersebut, diantaranya terdapat dalam QS. At-Taubah ayat 105 yang menerangkan bahwa apa yang dikerjakan manusia adalah yang menentukan eksistensinya.
Karena manusia dilihat dari perbuatannya, maka etika Islam memberikan perhatian mendalam atas perbuatan manusia terhadap sesamanya. Banyak dijumpai dalam Al-Qur’an, bukan hanya larangan-larangan yang bersifat tegas dan fisik seperti larangan membunuh, menyakiti badan, mengambil hak orang lain (mencuri), melainkan juga larangan yang bersifat nonfisik seperti menyakiti hati orang lain, mengumpat, mencela, memfitnah dan lain sebagainya.
Al-Qur’an menganjurkan untuk senantiasamenjaga keselamatan sesame manusia, tidak saling bertengkar, bertikai apalagi membunuh. Antar sesama manusia harus saling mengasihi, menghargai dan menjaga tali persaudaraan. Etika terhadap sesama manusia merupakan bagian penting yang harus dikerjakan untuk dapat menilai kualitas kemanusiaan yang telah Allah berikan kepada tiap-tiap manusia itu sendiri.
Ø   Etika terhadap Lingkungan
Lingkungan di sini adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia, baik itu binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Sebagai khalifah, manusia harus mampu menghormati dan menghargai seluruh prose salami yang berjalan di muka bumi. Binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda tak bernyawa semuanya diciptakan Allah dan menjadi milik-Nya.
Alam dan seisinya adalah milik Allah, manusia diberi amanat untuk menjaganya. Maka manusia tidak berhak menguasai alam sekitar tapi mengelolanya, sehingga bermanfaat sesuai dengantugas kekhalifahannya. Dengan kemampuan akal dan pikiran yang telah dikaruniakan digunakan untuk mengabdi kepada Allah, manusia harus bersahabat, memahami, dan mengerti keadaan alam sekitarnya. Melestarikan yang ada sesuai dengan perintah Allah bukan memporak-porandakan, membumihanguskan karena nafsu semata.[6]
IV.             KESIMPULAN
Agama Islam adalah agama terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat seluruh umat di dunia tanpa terkecuali. Agama Islam agama yang damai, bertuhankan Allah Yang Maha Esa. Teologi Islam adalah ilmu yang membahas aspek ketuhanan dan segala sesuatu yang berkait dengan-Nya.
Syariat Islam adalah jalan menuju Allah melalui nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dan dalam makna yang konkrit, yang ditujukan untuk mengarahkan kehidupan manusia. Implementasinya dengan beribadah kepada Allah sebagaimana yang tertuang dalam rukun Islam yang lima.
Etika Islam atau dikenal dengan akhlaq, merupakan ilmu yang mengajarkan tentang baik dan buruk sesuai pandangan Islam. Seorang muslim dinilai baik atau buruknya dari etika, perbuatannya. Dalam etika Islam diatur bagaimana berhubungan, berakhlaq kepada Allah, beretika kepada Rasul, beretika kepada sesama manusia serta beretika terhadap lingkungan.
V.                PENUTUP
Demikian makalah ini penulis susun. Penulis berharap kepada pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi perbaikan makalah selanjutnya. Semoga pembahasan dalam makalah ini memberi manfaat lebih bagi penulis dan pembaca pada umumnya.


[1] Abdur Razak dan Rosihan Anwar, Ilmu kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), Cet II, hlm. 14
[2]Muhammad Fazlur Rahman Ansari, Islam dan Kristen dalam Dunia Modern, (Jakarta: Amzah, 2008), hlm. 152-153
[3] Sayid Sabiq, Akidah Islam, (Surabaya: Al-Ikhlas), hlm. 32 .
[4] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 1, (Jakarta: Logos,1999), hlm.1.


[5]Dr.H. Moch. Qawim Mathar, M.A, Sejarah, Teologi dan Etika Agama-agama, (Yogyakarta: Interfidie, 2005), hlm. 159-163.
[6]Dr.H. Moch. Qawim Mathar, Sejarah, Teologi dan Etika Agama-agama, (Yogyakarta: Interfidie, 2005), hlm. 267-278.

Selasa, 21 Januari 2014

RESENSI BUKU NEOMODERNISME PENDIDIKAN


  
Judul Buku      : Pendidikan Neomodernisme (Telaah Pemikiran Fazlur Rahman)
Penulis             : M. Rikza Chamami, M.Si.
Editor              : Abu Rokhmad
Penerbit           : Walisongo Press
Tahun Terbit   : 2010
Tebal               : xvi + 224 halaman
ISBN               : 978 -062-97346
Resensator       : Siti Eli Arifah


Pendidikan merupakan sesuatu yang urgen bagi kehidupan dalam menjalani peradaban dunia. Pendidikan akan membuka cakrawala intelektualitas manusia, memiliki khasanah pengetahuan yang beragam dan luas. Seseorang yang berpendidikan memiliki perbedaan tersendiri dibanding dengan orang yang tidak mau menempuh pendidikan. Karena segala sesuatu bisa diketahui melalui pendidikan, kehidupan ini takkan bisa lepas dari yang namanya pendidikan.
Pendidikan senantiasa akan mengalami perkembangan dari masa ke masa sesuai dengan zaman yang sedang terjadi. Oleh karenanya untuk menyikapi fenomena perkembangan zaman yang semakin canggih menuntut dunia pendidikan untuk melakukan inovasi inovasi terbaru guna menjawab problematika kehidupan manusia agar tidak terseret oleh arus pengaruh zaman yang negatif. Begitu pula dengan pendidikan Islam perlu adanya inovasi dalam mennaklukkan zaman modernitas. Agar zaman sesuai dengan ajaran Islam, disinilah peran pendidikan Islam yang sebenarnya.
Modernisasi dalam pemahaman Islam dipandang sebagai sebuah fenomena janus-faset (berwajah ganda). Hal tersebut tentunya memberikan keuntungan teknologi dan ilmu pengetahuan bagi masyarakat muslim, tetapi disisi lain modernisme  dewasa ini juga dianggap sebagai westernisasi culture  yang dikhawatirkan dapat mencabut akar dan tradisi keislaman yang ada, dapat menjadi penghambat dalam perkembangan dunia pendidikan Islam yang modern, bahkan dapat menjadikan stagnasi (kemandulan) pendidikan Islam. Sehingga munculah pemikiran dari seorang tokoh pembaharu Fazlur Rahman, bagaimana merumuskan sinkronisasi  modernitas dengan Islam melalui pendidikan?
Pengetahuan dalam Islam dinilai oleh Fazlur Rahman sangat penting: “Ilmu (‘Ilm atau knowledge) sangat penting bagi manusia. Ketika Allah menciptakan Nabi Adam, Dia memberinya ilmu. Jadi buat manusia ilmu sam pentingnya dengan wujud (exitence). Jika manusia hanya memiliki wujud tnpa ilmu, ia kurang mulia. Al-Qur’an menyebutkan bahwa ketika Allah menciptakan Adam, Dia memberitahukan hal itu pada para malaikat. Sepaerti yang tertuang dalam QS. Al-Baqarah ayat 30.”
Pada hakikatnya Neomodernisme yang dikenal dan dikembangkan Fazlur Rahman kepada dunia Islam bertujuan untuk menjembatani dua elemen penting yang akan menjadi tonggak peradaban, yaitu tradisi dan modernisasi yang selama ini senantiasa dipertentangkan dengan tajamnya oleh cendekiawan muslim.
Neomodernisme mencoba mengembangkan sikap kritis terhadap barat maupun terhadap warisan-warisan kesejarahannya sendiri. Bila kedua hal tersebut tidak dikaji secara objektif, maka keberhasilan dalam menghadpi dunia modern merupakan suatu yang absurd, bahkan kelangsungan hidup sebagai muslim bisa sangat diragukan. Namun, apabila umat Islam dapat mengembangkan prasarat keyakina diri, tanpa mengalah kepada Barat. Maka menjadi tugas sebagai muslim adalah mengembangkan suatu metodoli yang tepat dan sesuai guna mempelajari al-Qur’an dan mendapatkan petunjuk untuk masa selanjutnya.
Usaha dalam mengembalikan dinamika Islam, Fazlur Rahman menyarankan adanya pembedaan yang jelas antara Islam normative dan Islam sejarah. Di mana Islam normative bersifat abadi yang berdasarkan pada al-Qur’an dan Hadits Nabi. Adapun Islam sejarah merupakan pemahaman konseptual yang dilakukan umatnya sepanjang sejarah. Karenanya perlu adanya kajian dan direkontruksi bertahap melalui cahaya nilai-nilai dan sunnah nabi. Oleh sebab itu penting unuk memahami al-Qur’an sebagai ajaran yang utuh, pemahaman Sunnah juga penting disamping sejarah Islam dan sejenisnya. Selain itu metode yang diajarkan dengan model pedagogy (kedewasaan), sebagaimana Nabi Muhammad  SAW memberikan pendidikan sesuai dengan kebutuhan. Secara rigid implikasi pemikiran Fazlur Rahman dalam pendidikan Islam teraplikasikan dalam empat aspek:
a.       Model pendidikan Islam Qur’ani
b.      Tujuan dan strategi pendidikan
c.       Metode pendidikan
d.      Kurikulum pendidikan
 Dalam buku yang ditulis oleh penulis memfokuskan pada pemikiran Fazlur Rahman sebagai pencetus neomodernisme pendidikan Islam. Meskipun bahasa yang digunakan di dalamnya terdapat kosa kata yang asing, atau kata ilmiah yang digunakan yang menyulitkan pembaca pemula untuk memahaminya secara langsung. Sedikit membantu pemula dengan dicantumkannya keterangan dibawah tulisan (footnote) atau dalam konteknya langsung walaupun tidak keseluruhan. Seluruh telaah pemikiran Fazlur Rahman yang diceritakan dalam buku ini merupakan hal yang perlu diperhatikan oleh si pembaca, karena di dalamnya terdapat ramuan yang mampu meningkatkan kemajuan perkembangan pendidikan Islam. Dengan demikian, pembaca dapat mengetahui sejarah dan implikasi neomodernisme dalam pendidikan Islam. Buku ini sangat cocok untuk menambah wawasan mahasiswa untuk meningkatkan mutu pendidikan Islam sampai kelas Internasional yang dimulai dari diri sendiri.
Tak hanya bagi mahasiswa saja, melainkan kepada pendidik membaca buku ini sangat membantu dalam membuka khasanah keilmuan lebih luas lagi, bahwasanya perlu adanya rekontruksi bertahap dalam transfers of knowledge kepada peserta didik sesuai dengan zaman yang terjadi. Sehingga peserta didik benar-benar mampu memahmi nilai-nilai ajaran Islam dan mampu mengaplikasikannya dalam menghadapi problematika kehidupan sosial yang di mana sebagai muslim tidak bisa memandang sebelah mata pada kemajuan dunia barat. Dan menampik isu yang dituduhkan pada Islam sebagai agama radikal, kolot, sampai disebut agama pencetak teroris.