Senin, 07 Oktober 2013

REVITALISASI PENDIDIKAN MORAL BAGI GENERASI PENERUS


REVITALISASI PENDIDIKAN MORAL BAGI GENERASI PENERUS


A.    ABSTRAK
Pedidikan  Moral/Agama sangat penting bagi para remaja sebagai generasi penerus bangsa, agar martabat bangsa terangkat, kualitas hidup meningkat, kehidupan menjadi lebih baik, aman dan nyaman serta sejahtera. Pendidikan ini membentuk generasi penerus yang berotak Jerman dan berhati Mekah yang mencerminkan keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan pengamalan nilai moral/agama.

Kondisi ideal remaja sebagai generasi penerus, merupakan individu yang sedang berkembang, dan oleh karena itu perlu diberi kesempatan berkembang secara proporsional dan terarah, dan mendapatkan layanan pendidikan yang berimbang antara pengetahuan umum dan pendidikan nilai moral/agama. Mereka memiliki peran dan posisi strategis dalam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun kondisi faktual di lapangan seperti yang muncul di media cetak dan elektronik, kenyataannya remaja sebagai generasi penerus terjebak dalam perilaku amoral yang sangat mencemaskan dan menghawatirkan bahkan meresahkan masyarakat. Hal ini sebagai akibat dari terabaikannya Pendidikan Nilai Moral di Indonesia. Oleh karena itu tulisan ini mencoba mengupas berdasarkan kajian literatur dan kondisi riil di lapangan untuk mendapatkan solusi yang handal/cespleng.

Kata kunci : Pendidikan Moral/Agama, Generasi penerus


B.     Latar Belakang
Apabila kita melihat dari sudut pandang psikologi perkembangan, dunia ini  nampak semakin tua,manusia semakin cerdas, pengetahuan semakin dewasa, dan teknologi pun semakin canggih. Namun di balik semua itu, apakah kehidupan kita menjadi semakin baik, semakin nyaman, dan semakin sejahtera baik secara lahiriah maupun bathiniah? Mungkin tidak, bahkan sebaliknya? Kehidupan kita nampaknya semakin mundur dan terpuruk, reformasi kita kebablasan, korupsi  semakin terang-terangan dan merajalela, krisis multi dimensi pun tak kunjung selesai, dab semakin derasnya arus globalisasi.
Bangsa ini nampaknya sudah cukup lelah melihat, menyaksikan dan mengalami keadaan yang demikian rumit ini. Seperti dikemukakan oleh Dedi Supriadi (Pikiran Rakyat, 12 Juni 2001: 8-9) bahwa “Orde Baru berakhir, dan muncul Era Reformasi. Era ini menyaksikan sosok bangsa ini yang lunglai, terkapar dalam ketidak berdayaan akibat berbagai krisis yang dialaminya.”
Keadaan tersebut tidak saja mengakibatkan terpuruknya ekonomi, tetapi juga mengakibatkan merosotnya kualitas hidup, bahkan merosotnya martabat bangsa. Apakah gerangan yang menyebabkan semua itu? Kalau kita telaah mungkin akan muncul sederetan faktor penyebab. Ada yang mengatakan karena pejabatnya tidak jujur, korup, penegak hukumnya tidak adil, rakyatnya tidak produktif, karyawan bawahannya tidak loyal, tidak bisa kerjasama, tidak empati, tidak mempunyai keteguhan hati dan komitmen, pelajar dan mahasiswanya tawuran, dsb.

Bagaimana dengan  tahun 2000-2010 an sampai sekarang? Apakah pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama masih juga terabaikan? Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa satu penyebab krisis multi dimensi, termasuk krisis moral yang menimpa bangsa kita adalah karena telah terabaikannya “Pendidikan Moral” (dalam pengertian pendidikan agama, budi pekerti, akhlaq, nilai moral) bagi generasi penerus.
Betapa tidak, ajaran agama mengatakan: “carilah untuk kehidupan duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya, dan carilah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok,” hal ini mengandung makna bahwa dalam studi ilmu pengetahuan umum dan agama hendaklah seimbang, berotak Jerman berhati Mekah, demi mencapai kesejahteraan hidup di dunia ini dan akherat nanti. Dengan demikian, jikalau di sekolah dasar seperti SD, SMP, atau SMU terdapat 36 jam pelajaran perminggu, setidaknya meski terdapat 18 jam untuk ilmu pengetahuan umum dan 18 jam untuk agama (semua agama), atau paling tidak 20 jam pelajaran untuk pengetahuan umum dan 16 jam untuk agama( pendidikan nilai moral). Sedangkan yang ada dari dulu sampai sekarang komposisinya adalah 34 jam pelajaran untuk pengetahuan umum dan 2 (dua) jam atau paling banyak 4 (empat) jam untuk pendidikan agama, dari TK sampai perguruan tinggi.

Jadi, dengan hanya 4 (empat) jam pelajaran perminggu anak sebagai generasi penerus mendapatkan apa? Agama yang kokoh? Moral yang tinggi? Akhlaq mulia? Mungkin tidak, barangkali hanya mendapatkan kulitnya saja, dan tidak tau isinya. Akhirnya agama hanya dibibir sebagai lipstik, belum menjadi penghayatan dan pengamalan. Orang yang mengaku beragama tetapi tidak pernah mengamalkannya, ia bagaikan memiliki garam satu truk tetapi tidak pernah tahu rasa asinnya, punya gula satu peti kemas tetapi tidak pernah tau rasa manisnya. Inilah gambaran generasi penerus kita. Tak ayal lagi nilai-nilai moral/agama tidak tertanam dan tidak dimilikinya oleh anak didik kita, kecuali hanya sangat sedikit. Apa akibatnya? Ketika mereka menginjak bangku SMP sudah mulai
tawuran, menginjak SMA mendapatkan julukan SMA tawuran, dan ketika mereka menduduki bangku kuliah, apa yang terjadi. Kalau mereka menjadi mahasiswa, mungkin akan menjadi mahasiswa yang agresif, pemberani, pendemo dan tukang tawuran. Kalau kelak mereka menjadi pejabat, mungkin tidak jujur dan korup. Inikah moral mereka?

Pendidikan nilai moral/agama sangat penting bagi tegaknya satu bangsa. Tanpa pendidikan nilai moral (agama, budi pekerti, akhlaq) kemungkinan besar suatu bangsa bisa hancur, carut marut. karena hilangnya moral bangsa sebagai karakter dan cirri khas  suatu bangsa, Oleh karena itu “Munculnya kembali pendidikan budi pekerti sebagai primadona dewasa ini mencerminkan kegusaran bangsa ini akan terjadinya krisis moral bangsa dan kehidupan sosial yang carut marut.” (Dedi Supriadi, Pikiran Rakyat 12 Juni: 8-9).
Inilah waktunya untuk menentukan apakah nilai-nilai moral penting bagi masa depan anak-anak kita, keluarga kita, dan kemudian mendukung dan mendorong mereka mempraktikkan nilai - nilai moral tersebut dalam kehidupan sehari-hari kita, sehingga mampu terwujud bangsa yang berkarakter moral yang luhur. Siapa yang bertanggung-jawab untuk mengajarkan nilai-nilai moral ini pada anak-anak kita? Tanggung-jawab itu dipikul oleh kita semua. Apakah kita menyadari atau tidak, kita selalu mengajarkan nilai moral, tetapi kita harus lebih berusaha keras untuk mengajarnya. Nilai-nilai moral yang kita tanamkan sekarang, sadar atau tidak sadar, akan mempunyai pengaruh yang sangat besar pada masyarakat yang akan datang.” Oleh karena itu pada tulisan ini bertemakan “Revitalisasi Pendidikan Moral Bagi Generasi Penerus ”.

C.    PEMBAHASAN
I.                   Revitalisasi Pendidikan Moral
Tujuan utama pendidikan adalah menyemai karakter bangsa yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Dalam hal ini pendidikan dimaknai sebagai proses belajar dan adaptasi secara terus-menerus terhadap nilai-nilai budaya dan cita-cita luhur masyarakat dan diorientasikan untuk menghadapi tantangan eksternal.
Bangsa Indonesia sejak zaman nenek moyang telah menjunjung tinggi nilai moral, budaya dan agama yang ini terjadi dihampir semua daerah, suku bangsa yang tercermin dalam adat istiadat dan keanekeragaman budayanya yang kental yang menjadi salah satu karakter kuat bangsa Indonesia adalah pengamalan dan sikap berpegang teguh atas nilai-nilai religiusitas dan moral dalam dimensi kehidupan.
Cara pandang religius inilah yang menjadi modal dasar pembangunan termasuk dalam pengembangan pendidikan. Pembangunan manusia Indonesia melalui pendidikan dengan demikian berbeda dengan karakter pembangunan manusia Barat yang sekuler. Pembangunan sumber daya manusia (SDM) kita menekankan pentingnya moral (budi pekerti) di semua lini kehidupan baik privat maupun publik.
Pendidikan merupakan kebutuhan primer bagi individu hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang mewajibkan menuntut ilmu bagi tiap muslim, tentunya ilmu yang dipelajari haruslah yang baik dan bermanfaat bagi peserta didik sepanjang waktu. Dan pendidikan yang paling penting adalah pendidikan Moral/ Agama atau biasa dalam dunia islam dikenal dengan pendidikan Akhlak. Nabi pernah bersabda “Sesungguhnya Aku diutus tidak lain hanyalah untuk menyempurkanan Akhlak yang mulia”. Karena sebaik - baiknya makhluk adalah yang baik akhlaknya.
Apakah Pendidikan Nilai Moral? “Pendidikan dalam arti yang luas meliputi semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta keterampilannya kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah.” (Soegarda Poerbakawaca, & Harahap, H.A.H., 1981: 257).
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (1): “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.”Sedangkan “nilai merupakan suatu ide, sebuah konsep   mengenai sesuatu yang  dianggap penting dalam kehidupan. Ketika seseorang menilai sesuatu ia menganggap sesuatu tersebut berharga — berharga untuk dimiliki, berharga untuk dikerjakan, atau berharga untuk dicoba maupun untuk diperoleh. Studi tentang nilai biasanya terbagi ke dalam area estetik dan etik. Estetik berhubungan erat dengan studi dan justifikasi terhadap sesuatu yang dianggap indah oleh manusia — apa yang mereka nikmati. Etik merupakan studi dan justifikasi dari tingkah laku — bagaimana orang berperilaku. Dasar dari studi etik adalah pertanyaan mengenai moral — yang merupakan suatu refleksi pertimbangan mengenai sesuatu yang dianggap benar atau salah.” (Jack R. Fraenkel, 1977: 6). Moral menurut kamus Poerwadarminta, (1989: 592) adalah “ajaran tertentu baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlaq, budi pekerti, susila.” Menurut Soegarda, P., dan Harahap, H.A.H., (1981: 434) ciri-ciri yang menunjukkan adanya pendidikan moral: (1) cukup memperhatikan instink dan dorongan-dorongan spontan dan konstruktif, (2) cukup membuka kondisi untuk membentuk pendapat yang baik, (3) cukup memperhatikan perlunya ada kepekaan untuk menerima dan sikap responsive, (4) pendidikan moral memungkinkan memilih secara bijaksana mana yang benar, mana yang tidak.”
Jadi Pendidikan Moral adalah suatu usaha sadar yang dilakukan oleh manusia (orang dewasa) yang terencana untuk memberikan kesempatan kepada peserta didik (anak, generasi penerus) menanamkan ketuhanan, nilai-nilai estetik dan etik, nilai baik dan buruk, benar dan salah, mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban; akhlaq mulia, budi pekerti luhur agar mencapai kedewasaannya dan bertanggungjawab.
Abu A’la Maududi mengemukakan adanya moral Islam dalam buku : Ethical Viewpoint of Islam memberikan garis tegas antara moral sekuler dan Moral Islam. Moral sekuler bersumber dari pikiran dan prasangka manusia yang beraneka ragam. Sedangkan moral Islam bersandar pada bimbingan dan petunjuk dari Allah dalam Al-Qur’an.

II.                Dekandensi  Moral Generasi Penerus

Perubahan sosial yang begitu cepat yang diakbiatkan oleh kemajuan teknologi dalam era globalisasi sangat memengaruhi kehidupan masyarakat. hal itu dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya saja nilai-nilai religiousitas dan sosial yang sangat dijunjung dalam masyarakat lambat laun telah pudar bersamaan dengan perkembangan teknologi pada saat ini. Terbukti dengan minimnya keikutsertaan remaja dalam kegiatan agama atau dengan kurang hormatnya anak kepada orang tua dan kepada guru atau orang yang lebih tua. Etika dan moral kini sudah sangat dikesampingkan dan tidak lagi menjadi modal utama untuk mencapai tujuan. Masyarakat Indonesia yang dulu dikenal sangat kental dengan gotong royongnya namun kini telah berubah menjadi sebuah masyarakat yang sangat individualis. Jika nilai-nilai agama, akhlak, etika, dan moral sudah tidak menjadi sebuah patokan atau pegangan, maka masyarakat akan sulit untuk melakukan filterisasi terhadap sesuatu yang baru sehingga masyarakat tidak dapat menentukan mana yang baik dan buruk.
Masyarakat tidak akan mungkin dapat menghindar dari yang namanya teknologi. Teknologi seakan-akan telah menjadi teman baik kita dalam kehidupan sehari-hari. Dimana pun kita berada, disitu pula terdapat teknologi. Cukup miris sekali ketika kita melihat dan memperoleh informasi dari media massa tentang fenomena yang dialami oleh remaja kita saat ini. Perubahan sosial tersebut telah melahirkan generasi yang sangat akrab dengan penyimpangan-penyimpangan perilaku. Tawuran pelajar, penyalahgunaan narkoba, penyimpangan seksual, dan pelanggaran-pelanggaran lainnya telah menjadi hal yang biasa di kalangan remaja saat ini. Hampir setiap hari media massa selalu menayangkan perilaku-perilaku negative yang menimpa remaja kita. Remaja seakan-akan menjadi peluang emas untuk menaburkan benih-benih perubahan sosial yang mengarah ke hal-hal yang negative.
Jika hal ini terus menerus dibiarkan anpa ada penanganan yang lebih lanjut bisa dipastikan bangsa Indonesia akan jauh tertinggal dan tidak memiliki karakter moral lagi seperti zaman sebelumnya. Dan ini menjadi peluang besar bagi Negara lain untuk menjajah bangsa kita secara perlahan tanpa kita sadari.

III.             Pendidikan Moral Sebagai Pertahanan HAM

Pendidikan yang bersifat integratif memandang objek pendidikan sebagai makhluk yang dikaruniai berbagai potensi oleh Sang Penciptanya. Potensi yang dimiliki hanya dapat dikembangkan jika mengintegrasikan diri ke dalam kehidupan masyarakat dan mewujudkan tata kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Itulah manusia yang berbudaya. Dengan demikian, pendidikan tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dari kebudayaan. Proses pendidikan adalah proses kebudayaan dan proses kebudayaan adalah proses pendidikan. Memisahkan pendidikan dari kebudayaan berarti menjauhkan pendidikan dari perwujudan nilai-nilai moral dalam kehidupan manusia. Seperti halnya pelanggaran yang melibatkan anak. Pelanggaran hak asasi anak tersebut tidak hanya dilakukan oleh orang lain, tetapi juga oleh korban dari pelanggaran tersebut. Misalnya kekerasan terhadap anak-anak.
Kekerasan terhadap anak-anak adalah perilaku tindak penganiayaan yang dilakukan oleh orang yang tak bertanggung jawab terhadap anak-anak (sepanjang mereka masih berstatus anak secara hukum). Hampir semua anak dilahirkan karena keinginan ayah-ibunya walaupun ada penyebutan anak di luar nikah, lebih bermakna anak yang dilahirkan sebelum sang ibu menikah sedangkan perbuatan yang menjadikan anak itu ada, merupakan tindakan yang penuh kesadaran. Selain itu yang menjadi pelanggaran hak asasi. Dalam sebuah kasus pencurian sandal jepit milik seorang polisi. Kasus tersebut dilakukan oleh seorang anak SMK di Palu, Sulawesi Tengah. Anak tersebut diancam hukuman penjara selama lima tahun. Bila dibandingkan dengan hukuman bagi para koruptor, terlihat rasa tidak adil terhadap anak itu. Ketidakadilan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi anak. Anak mempunyai hak untuk diberi keadilan di depan hukum.
Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa moral sebagian besar warga Indonesia saat ini sangat buruk. Bila dibandingkan dengan zaman dahulu, moral pada zaman sekarang sangat ambruk. Hal itu disebabkan oleh sistem pendidikan zaman dahulu di Indonesia lebih mengutamakan pendidikan moral. Namun zaman sekarang, pendidikan moral tak lagi dijadikan sebagai pendidikan yang diutamakan sehingga kehidupan negara Indonesia dipenuhi oleh pelanggaran-pelanggaran terhadap hak asasi manusia terutama hak asasi anak. Oleh karena itu, untuk menghilangkan pelanggaran-pelanggaran tersebut di masa yang akan datang, diperlukan adanya revitalisasi pendidikan moral dalam sistem pendidikan negara Indonesia artinya menjadikan kembali pendidikan moral sebagai pendidikan yang diutamakan dalam dunia pendidikan.
Pendidikan moral merupakan suatu usaha sadar untuk mendidik seseorang menjadi manusia yang memiliki moral baik dan selalu menghargai hak yang dimiliki oleh sesamanya. Pendidikan moral juga dapat diartikan sebagai usaha untuk melahirkan perilaku-perilaku yang selaras dengan etika-etika moral. . Perilaku moral dikendalikan oleh konsep moral, yakni aturan-aturan dalam bertingkah laku yang anggota masyarakatnya berperilaku sesuai dengan pola perilaku yang diharapkan oleh masyarakat, sedangkan perilaku immoral adalah perilaku yang gagal dalam menyesuaikan perilaku sesuai harapan dan tidak dapat diterima oleh norma-norma sosial. Pendidikan unmoral adalah perilaku yang tidak menghiraukan harapan dari keleompok sosialnya. Perilaku ini cenderung terlihat pada anak-anak. Ketika masih kanak-kanak, anak tidak diharapkan untuk mengenal seluruh tata karma dari suatu kelompok. Begitu anak memasuki usia remaja dan menjadi anggota suatu kelompok, anak dituntut untuk bertingkah laku sesuai dengan kebiasaan kelompoknya.
Tingkah laku yang sesuai aturan tidak hanya sesuai dengan dasar-dasar yang ditetapkan secara sosial tetapi juga perlu diikuti secara suka rela. Hal ini terjadi dari otoritas eksternal maupun internal. Dalam perkembangan moralnya kelak anak harus belajar mana yang benar dan mana yang salah. Begitu anak bertambah besar, ia juga harus tahu alasan mengapa sesuatu dianggap benar sementara yang lain tidak. Dengan demikian, anak perlu dilibatkan dalam aktivitas kelompok, tetapi yang terpenting tetap perlu mengembangkan harapan melakukan mana yang baik dan mana yang buruk.
Pendidikan moral sangat mempengaruhi moral setiap anak. Pendidikan moral bertujuan untuk mempertahankan harkat dan martabat anak. Pendidikan moral mendidik kepada anak untuk selalu berperilaku sesuai etika-etika moral yang baik. Pendidikan moral sesungguhnya mempunyai pengertian yang sama dengan pendidikan budi pekerti dan pendidikan akhlak. Dalam pelaksanaan program pendidikan dapat digunakan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang berkembang. Sesuai dengan nilai-nilai budaya dan falsafah hidup bangsa, pendekatan yang paling sesuai digunakan di Indonesia adalah pendekatan penanaman nilai.
Tujuan pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti bagi anak adalah mewujudkan anak sebagai warga negara Indonesia yang baik serta anak yang cerdas pikiran dan cerdas perilaku. Menjadikan seluruh warga negara Indonesia (terutama anak) sadar dengan hakikat, martabat, dan kodratnya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa serta sadar dengan sifat dasar, potensi dasar, serta hak dan kewajiban asasi yang dimiliki. Untuk meraih pendidikan moral anak tersebut perlu disertai dengan upaya keteladanan, pembiasaan, pengamalan, dan pengondisian terhadap anak, serta berbagai upaya yang bersinergi dari berbagai pihak untuk mewujudkan lingkungan pendidikan yang kondusif dan mempertahankan harkat martabat anak.

IV.             Implementasi Pendidikan Moral dalam Mewujudkan Generasi Penerus Bermutu

Pelajaran agama yang menjadi pijakan utama pendidikan moral misalnya tidak boleh dikesankan sebatas penyampaian doktrin-doktrin agama, tentang halal-haram, tata cara ibadah berikut pahala-surga dan ancaman dosa-neraka, tetapi harus banyak berbicara dimensi pemaknaan yang mengajak peserta didik meraih kesadaran (conscience) terhadap nilai. Unsur-unsur ajaran agama menyangkut ibadah dan hukum-hukum agama tentu saja harus disampaikan, tapi tidak boleh dilupakan bahwa tujuan utama pendidikan agama adalah internalisasi nilai sehingga menjadi karakter.
Secara eksplisit desain pendidikan nasional menekankan pentingnya pendidikan karakter dan moral. Dalam kerangka ini, pendidikan harus menjadi sarana yang efektif dalam mentransformasi nilai-nilai moral-spiritual yang sangat berguna bagi pembentukan karakter peserta didik yang pada gilirannya diharapkan menjadi karakter budaya bangsa.
Pendidikan karakter dan moral pada dasarnya adalah “to guide the young towards voluntary personal commitment to values”, pekerjaan membimbing generasi muda untuk secara sukarela mengikatkan diri mereka kepada norma-norma atau nilai-nilai (Philip H Phenix, 1964). Yang penting di sini ialah bahwa “commitment to values” atau pengikatan diri kepada nilai-nilai harus terjadi secara sukarela, harus tumbuh dari dalam, dan bukan karena ancaman atau ketakutan kepada sesuatu di luar hati.
Meminjam perkataan dari Abu ‘Ala “Akan tumbuh dan berkembang seorang anak sebagaimana pembiasaan orang tuanya terhadapnya. Anak tidak akan mungkin menjadi hina dan tercela dengan tiba-tiba, tapi orang dekatnyalah yang akan menjadikan hina dan tercela”
Dalam pendidikan moral menuju terbentuknya akhlak yang mulia dalam diri setiap peserta didik terdapat tiga tahapan strategi yang harus dipenuhi diantaranya :
1.      Moral knowing/ Learning to know
Akal adalah karunia Allah SWT yang besar bagi manusia. Agama Islam sendiri berisi pedoman bagi manusia yang berakal. Hanya manusia yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran dari penciptaan langit dan bumi. “Apakah meraka tidak pernah merenung berpikir tentang diri mereka?” (QS. Al-Ankabut [29]: 20).
Dalam tahapan ini tujuan diorientasikan pada penguasaan dan pengetahuan tentang nilai-nilai terlebih dahulu. Dimana anak didik mampu mengetahui nilai sesuatu, mampu membedakan nilai yang baik dan yang buruk. Melalui akal Jadi peserta didik dengan sendirinya mengetahui, memahami dan mampu membedakan nilai akhlak yang dipelajarinya. Seperti mengetahui pentingnya akhlak mulia dan bahaya akhlak tercela, mengenal sosok Nabi Muhammad sebagai teladan akhlak mulia melaui hadits haditnya dan kisahnya.
2.      Moral Loving/ moral Feeling
Belajar mencintai sesuatu dengan cinta tanpa syarat. Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia setelah mereka mempelajarinya. Yang menjadi sasaran pendidik adalah dimensi emosional, hati, jiwa generasi muda sebagai peserta didik, sehingga tumbuh kesadaran, keinginan, dan kebutuhan terhadap nilai akhlak yang sudah dipelajari sebelumnya. Dan dengan sendirinya mereka mampu berkata kepada dirinya sendiri, “Iya, saya harus seperti itu…” atau “Saya seharusnya seperti ini, tidak melakukan hal seperti itu..” dan lain-lain.
3.      Moral Doing/ Learning to do
Fitrah manusia sejak kelahirannya adalah kebutuhan kepada orang lain. Kita tak dapt berkembang dan survive kecuali ada kehadiran orang lain. Apabila seorang filsuf barat berkata “Cogito ergo sum” aku da karena aku berpikir, kita dapat mengatakan “aku ada karena memberikan makna bagi orang lain” sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Engkau belum disebut sebagai orang yang beriman kecuali engkau mencintai orang lain sebagaimana mencintai dirimu sendiri”.
Disinilah puncak keberhasilan pandidikan akhlak, dimana siswa/peserta didik mampu mempraktikkan akhlak mulia dalam perilakunya sehari-hari. Siswa menjadi semakin sopan, hormat, ramah, penyayang, jujur, adil, murah hati dan lain sebagainya. Dikarenakan sudah tertanam dalam hati akan makna sebuah akhlak yang mulia yang dicintai dan dengan sendirinya akhlak tersebut akan muncul tanpa perlu pemikiran sebelumnya. Akhlak akan muncul secara spontan dengan sendirinya.
Hal ini sama dengan pendidikan akhlak tasawuf dalam proses pembentukan akhlak ada tiga tahapan yakni Knowledge (Al Ilmu), Afeksi/Rasa (al hal), dan Action/konasi (al Amal). Sebagai contonhya ketika anak mengetahui akan nilai kebaikan suatu kesabaran dengan segala konsekuensinya berupa Allah akan menyertai orang-orang yang senantiasa sabar, maka perlahan akan muncul rasa cinta sabar karena Allah SWT. Dan lama kelamaan tanpa perlu berfikir terlebih dahulu dalam situasi tertentu akhlak tersebut akan muncul dengan sendirinya. Contoh lain mengetahui nilai positif dari jujur, ketika seorang anak disuruh bohong dalam hatinya akan memberontak dan susah untuk berbohong karena sudah tertanam dalam hatinya rasa cinta kepada kejujuran.   
Dengan kerelaan tersebut, nilai-nilai moral diharapkan akan tercermin dalam akhlak kehidupan sehari-hari. Hal ini menuntut kreativitas dan pengayaan program pengajaran melalui berbagai kegiatan yang aplikatif dan tepat sasaran dalam menuntun akhlak sehari-hari peserta didik. Dalam pelaksanaannya tentunya tidak bisa terlepas dari peran pendidik, dan juga lingkungan.
Pendidik tak sekedar hanya memberikan pengetahuan (Transfers knowledge) belaka, akan tetapi pendidik juga sebagai teladan yang patut dijadikan uswah al hasanah bagi peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. Sangat pentingnya peran pendidik tak terbatas bagi pendidik di lingkunga sekolah saja, melainkan peran besar orang tua sebagai pendidik secara mutlak bagi anak-anaknya yang sudah menjadi kewajiban orang tua memberikan pendidikan yang terbaik dan hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik bagi mereka. Jika orang tua sebagai pendidik paling dominan tak mampu memberika didikan yang bagus maka bisa jadi anak mereka akan menjadi produk yang kurang baik kemudian. Begitu pula factor lingkungan juga ikut menyumbang dlam pembentukan karakter moral anak didik, ketika anak berada dalam sebuah lingkungan yang terjaga maka terjagalah dirinya, akan tetapi tak serta merta seperti itu. Terkadang ditemukan anak didik yang hidup di lingkungan masyarakat yang kurang baik, namun lingkungan keluarga dan sekolah sangat kondusif, anak tersebut tetap terjaga.
Pengajaran moral melalui pembahasaan yang divergen atas nilai-nilai yang terkandung dalam materi ajar melalui kegiatan-kegiatan sederhana, tapi mengena akan mengefektifkan pembentukan karakter moral para peserta didik. Pada gilirannya akan membentengi akhlak peserta didik dari perbuatan yang dilarang (amoral). Hal ini tentu saja sangat penting bagi fondasi pembangunan bangsa di masa depan. Ketika karakter moral telah membudaya, ia akan menjadi etos kerja bangsa sehingga proses-proses politik, perumusan kebijakan, dan praktik pemerintahan dan pembangunan akan dilandasi moralitas yang kuat, terhindar dari berbagai penyimpangan.
Dengan demikian diharapakan setealah adanya pendidikan moral sejak dini akan mampu mengembalikan karakter moral bangsa dan  menghapuskan dekadensi moral yang kian merajalela. Akan mampu  mencetak kader kader generasi penerus bangsa yang berkarakter bermoral dan membangun bangsa dengan identitas moral bangsa yang dijunjung tinggi.

D.    KESIMPULAN
Moral merupakan hal terpenting dalam sebuah pembentukan karakter individu maupun sosial bermasyarakat. Ketika moral seseorang itu rusak maka dengan perlahan orang tersebut tak memiliki karakter atau ciri khas yang bisa dibanggakan dalam hidupnya. Pendidikan moral guna membentuk kerakter generasi penerus harus difungsikan dengan baik agar mampu mencetak kader anak bangsa yang bermutu dengan karakter moral yang tinggi. Pendidikan moral bisa ditumbuhkan sejak dini melalui pendidikan akhlak, agama, dan budi pekerti. Semua orang memiliki tanggungjawab pada pendidikan moral, tak hanya diberikan kepada generasi muda akan tetapi pendidikan moral perlu untuk semua golongan, tak terpaut usia.
Dengan penggunaan metode khusus dan mudah seperti yang telah disebutkan diatas (moral knowing, moral loving, moral doing), dibutuhkan peran aktif para pendidik baik orang tua ataupun guru dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat dan juga pemerintah dalam memajukan pendidikan bangsa. Revitalisasi pendidikan moral bagi generasi penerus  bisa berhasil jika semuanya mampu berperan dengan aktif sesuai bidangnya dan memenuhi hak-hak serta kewajibannya sebagai makhlik individu dan sosial. Maka dengan itu akan mampu terwujud suatu bangsa yang berkarakter moral yang menjunjung tinggi nilai moral bangsa. Kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan lagi kita bisa membenahi bangsa kita tercinta ini. Karena baik buruknya suatu bangsa tergantung kepada warganya dalam bersikap. Dan baik buruknya pemerintahan tergantung kepada para pemimpinnya yang memiliki moral kepemimpinan yang baik taua tidak.

1 komentar:

  1. YouTube - VR Football Academy on YouTube
    Watch and practice live sports games such as football, basketball, tennis, boxing, volleyball, baseball, boxing, golf, download youtube videos ice hockey, basketball and more at

    BalasHapus