REVITALISASI PENDIDIKAN MORAL BAGI GENERASI
PENERUS
A.
ABSTRAK
Pedidikan Moral/Agama sangat penting bagi para remaja
sebagai generasi penerus bangsa, agar martabat bangsa terangkat, kualitas hidup
meningkat, kehidupan menjadi lebih baik, aman dan nyaman serta sejahtera.
Pendidikan ini membentuk generasi penerus yang berotak Jerman dan berhati Mekah
yang mencerminkan keseimbangan antara ilmu pengetahuan dan pengamalan nilai moral/agama.
Kondisi ideal remaja sebagai generasi penerus,
merupakan individu yang sedang berkembang, dan oleh karena itu perlu diberi
kesempatan berkembang secara proporsional dan terarah, dan mendapatkan layanan
pendidikan yang berimbang antara pengetahuan umum dan pendidikan nilai moral/agama.
Mereka memiliki peran dan posisi strategis dalam kelangsungan kehidupan
berbangsa dan bernegara. Namun kondisi faktual di lapangan seperti yang muncul
di media cetak dan elektronik, kenyataannya remaja sebagai generasi penerus
terjebak dalam perilaku amoral yang sangat mencemaskan dan menghawatirkan
bahkan meresahkan masyarakat. Hal ini sebagai akibat dari terabaikannya
Pendidikan Nilai Moral di Indonesia. Oleh karena itu tulisan ini mencoba
mengupas berdasarkan kajian literatur dan kondisi riil di lapangan untuk
mendapatkan solusi yang handal/cespleng.
Kata kunci : Pendidikan Moral/Agama, Generasi
penerus
B.
Latar Belakang
Apabila kita melihat dari sudut pandang
psikologi perkembangan, dunia ini nampak
semakin tua,manusia semakin cerdas, pengetahuan semakin dewasa, dan teknologi
pun semakin canggih. Namun di balik semua itu, apakah kehidupan kita menjadi
semakin baik, semakin nyaman, dan semakin sejahtera baik secara lahiriah maupun
bathiniah? Mungkin tidak, bahkan sebaliknya? Kehidupan kita nampaknya semakin
mundur dan terpuruk, reformasi kita kebablasan, korupsi semakin terang-terangan dan merajalela,
krisis multi dimensi pun tak kunjung selesai, dab semakin derasnya arus
globalisasi.
Bangsa ini nampaknya sudah cukup lelah melihat,
menyaksikan dan mengalami keadaan yang demikian rumit ini. Seperti dikemukakan
oleh Dedi Supriadi (Pikiran Rakyat, 12 Juni 2001: 8-9) bahwa “Orde Baru berakhir, dan muncul Era Reformasi. Era ini menyaksikan sosok
bangsa ini yang lunglai, terkapar dalam ketidak berdayaan akibat berbagai
krisis yang dialaminya.”
Keadaan tersebut tidak saja mengakibatkan
terpuruknya ekonomi, tetapi juga mengakibatkan merosotnya kualitas hidup,
bahkan merosotnya martabat bangsa. Apakah gerangan yang menyebabkan semua itu?
Kalau kita telaah mungkin akan muncul sederetan faktor penyebab. Ada yang
mengatakan karena pejabatnya tidak jujur, korup, penegak hukumnya tidak adil,
rakyatnya tidak produktif, karyawan bawahannya tidak loyal, tidak bisa
kerjasama, tidak empati, tidak mempunyai keteguhan hati dan komitmen, pelajar
dan mahasiswanya tawuran, dsb.
Bagaimana dengan tahun 2000-2010 an sampai sekarang? Apakah
pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama masih juga terabaikan? Berdasarkan
uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa satu penyebab krisis multi
dimensi, termasuk krisis moral yang menimpa bangsa kita adalah karena telah
terabaikannya “Pendidikan Moral” (dalam pengertian pendidikan agama, budi
pekerti, akhlaq, nilai moral) bagi generasi penerus.
Betapa tidak, ajaran agama mengatakan: “carilah
untuk kehidupan duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya, dan carilah untuk
akhiratmu seolah-olah kamu akan mati besok,” hal ini mengandung makna bahwa
dalam studi ilmu pengetahuan umum dan agama hendaklah seimbang, berotak Jerman berhati
Mekah, demi mencapai kesejahteraan hidup di dunia ini dan akherat nanti. Dengan
demikian, jikalau di sekolah dasar seperti SD, SMP, atau SMU terdapat 36 jam
pelajaran perminggu, setidaknya meski terdapat 18 jam untuk ilmu pengetahuan
umum dan 18 jam untuk agama (semua agama), atau paling tidak 20 jam pelajaran
untuk pengetahuan umum dan 16 jam untuk agama( pendidikan nilai moral).
Sedangkan yang ada dari dulu sampai sekarang komposisinya adalah 34 jam
pelajaran untuk pengetahuan umum dan 2 (dua) jam atau paling banyak 4 (empat) jam
untuk pendidikan agama, dari TK sampai perguruan tinggi.
Jadi, dengan hanya 4 (empat) jam pelajaran
perminggu anak sebagai generasi penerus mendapatkan apa? Agama yang kokoh?
Moral yang tinggi? Akhlaq mulia? Mungkin tidak, barangkali hanya mendapatkan
kulitnya saja, dan tidak tau isinya. Akhirnya agama hanya dibibir sebagai
lipstik, belum menjadi penghayatan dan pengamalan. Orang yang mengaku beragama
tetapi tidak pernah mengamalkannya, ia bagaikan memiliki garam
satu truk tetapi tidak pernah tahu rasa asinnya, punya gula satu peti kemas
tetapi tidak pernah tau rasa manisnya. Inilah gambaran generasi penerus kita.
Tak ayal lagi nilai-nilai moral/agama tidak tertanam dan tidak dimilikinya oleh
anak didik kita, kecuali hanya sangat sedikit. Apa akibatnya? Ketika mereka
menginjak bangku SMP sudah mulai
tawuran, menginjak SMA mendapatkan julukan SMA
tawuran, dan ketika mereka menduduki bangku kuliah, apa yang terjadi. Kalau
mereka menjadi mahasiswa, mungkin akan menjadi mahasiswa yang agresif,
pemberani, pendemo dan tukang tawuran. Kalau kelak mereka menjadi pejabat,
mungkin tidak jujur dan korup. Inikah moral mereka?
Pendidikan nilai moral/agama sangat penting
bagi tegaknya satu bangsa. Tanpa pendidikan nilai moral (agama, budi pekerti,
akhlaq) kemungkinan besar suatu bangsa bisa hancur, carut marut. karena
hilangnya moral bangsa sebagai karakter dan cirri khas suatu bangsa, Oleh karena itu “Munculnya
kembali pendidikan budi pekerti sebagai primadona dewasa ini mencerminkan
kegusaran bangsa ini akan terjadinya krisis moral bangsa dan kehidupan sosial
yang carut marut.” (Dedi Supriadi, Pikiran Rakyat 12 Juni: 8-9).
Inilah waktunya untuk menentukan apakah
nilai-nilai moral penting bagi masa depan anak-anak kita, keluarga kita, dan
kemudian mendukung dan mendorong mereka mempraktikkan nilai - nilai moral
tersebut dalam kehidupan sehari-hari kita, sehingga mampu terwujud bangsa yang
berkarakter moral yang luhur. Siapa yang bertanggung-jawab untuk mengajarkan
nilai-nilai moral ini pada anak-anak kita? Tanggung-jawab itu dipikul oleh kita
semua. Apakah kita menyadari atau tidak, kita selalu mengajarkan nilai moral,
tetapi kita harus lebih berusaha keras untuk mengajarnya. Nilai-nilai moral
yang kita tanamkan sekarang, sadar atau tidak sadar, akan mempunyai pengaruh
yang sangat besar pada masyarakat yang akan datang.” Oleh karena itu pada
tulisan ini bertemakan “Revitalisasi Pendidikan Moral Bagi Generasi Penerus ”.
C.
PEMBAHASAN
I.
Revitalisasi Pendidikan Moral
Tujuan utama pendidikan adalah menyemai karakter bangsa yang
tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat. Dalam hal ini pendidikan dimaknai
sebagai proses belajar dan adaptasi secara terus-menerus terhadap nilai-nilai
budaya dan cita-cita luhur masyarakat dan diorientasikan untuk menghadapi
tantangan eksternal.
Bangsa Indonesia sejak zaman nenek moyang telah menjunjung
tinggi nilai moral, budaya dan agama yang ini terjadi dihampir semua daerah,
suku bangsa yang tercermin dalam adat istiadat dan keanekeragaman budayanya
yang kental yang menjadi salah satu karakter kuat bangsa Indonesia adalah
pengamalan dan sikap berpegang teguh atas nilai-nilai religiusitas dan moral
dalam dimensi kehidupan.
Cara pandang religius inilah yang menjadi modal dasar
pembangunan termasuk dalam pengembangan pendidikan. Pembangunan manusia
Indonesia melalui pendidikan dengan demikian berbeda dengan karakter
pembangunan manusia Barat yang sekuler. Pembangunan sumber daya manusia (SDM)
kita menekankan pentingnya moral (budi pekerti) di semua lini kehidupan baik
privat maupun publik.
Pendidikan merupakan kebutuhan primer bagi
individu hal ini sesuai dengan hadits Nabi yang mewajibkan menuntut ilmu bagi
tiap muslim, tentunya ilmu yang dipelajari haruslah yang baik dan bermanfaat
bagi peserta didik sepanjang waktu. Dan pendidikan yang paling penting adalah
pendidikan Moral/ Agama atau biasa dalam dunia islam dikenal dengan pendidikan
Akhlak. Nabi pernah bersabda “Sesungguhnya Aku diutus tidak lain hanyalah untuk
menyempurkanan Akhlak yang mulia”. Karena sebaik - baiknya makhluk adalah yang
baik akhlaknya.
Apakah Pendidikan Nilai Moral? “Pendidikan
dalam arti yang luas meliputi semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk
mengalihkan pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta keterampilannya
kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat memenuhi fungsi
hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah.” (Soegarda Poerbakawaca, &
Harahap, H.A.H., 1981: 257).
Menurut Undang-undang Sistem Pendidikan
Nasional nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat (1): “Pendidikan adalah usaha sadar
dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.”Sedangkan “nilai merupakan suatu ide, sebuah konsep mengenai sesuatu yang dianggap penting dalam kehidupan. Ketika
seseorang menilai sesuatu ia menganggap sesuatu tersebut berharga — berharga
untuk dimiliki, berharga untuk dikerjakan, atau berharga untuk dicoba maupun
untuk diperoleh. Studi tentang nilai biasanya terbagi ke dalam area estetik dan
etik. Estetik berhubungan erat dengan studi dan justifikasi terhadap sesuatu
yang dianggap indah oleh manusia — apa yang mereka nikmati. Etik merupakan
studi dan justifikasi dari tingkah laku — bagaimana orang berperilaku. Dasar
dari studi etik adalah pertanyaan mengenai moral — yang merupakan suatu
refleksi pertimbangan mengenai sesuatu yang dianggap benar atau salah.” (Jack
R. Fraenkel, 1977: 6). Moral menurut kamus Poerwadarminta, (1989: 592) adalah
“ajaran tertentu baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap,
kewajiban, dsb; akhlaq, budi pekerti, susila.” Menurut Soegarda, P., dan
Harahap, H.A.H., (1981: 434) ciri-ciri yang menunjukkan adanya pendidikan
moral: (1) cukup memperhatikan instink dan dorongan-dorongan spontan dan
konstruktif, (2) cukup membuka kondisi untuk membentuk pendapat yang baik, (3)
cukup memperhatikan perlunya ada kepekaan untuk menerima dan sikap responsive,
(4) pendidikan moral memungkinkan memilih secara bijaksana mana yang benar,
mana yang tidak.”
Jadi Pendidikan Moral adalah suatu usaha sadar
yang dilakukan oleh manusia (orang dewasa) yang terencana untuk memberikan
kesempatan kepada peserta didik (anak, generasi penerus) menanamkan ketuhanan,
nilai-nilai estetik dan etik, nilai baik dan buruk, benar dan salah, mengenai
perbuatan, sikap dan kewajiban; akhlaq mulia, budi pekerti luhur agar mencapai
kedewasaannya dan bertanggungjawab.
Abu A’la Maududi mengemukakan adanya moral
Islam dalam buku : Ethical Viewpoint of Islam memberikan garis tegas
antara moral sekuler dan Moral Islam. Moral sekuler bersumber dari pikiran dan
prasangka manusia yang beraneka ragam. Sedangkan moral Islam bersandar pada
bimbingan dan petunjuk dari Allah dalam Al-Qur’an.
II.
Dekandensi Moral Generasi
Penerus
Perubahan sosial yang begitu cepat
yang diakbiatkan oleh kemajuan teknologi dalam era globalisasi sangat
memengaruhi kehidupan masyarakat. hal itu dapat kita lihat dalam kehidupan
sehari-hari. Contohnya saja nilai-nilai religiousitas dan sosial yang sangat
dijunjung dalam masyarakat lambat laun telah pudar bersamaan dengan
perkembangan teknologi pada saat ini. Terbukti dengan minimnya keikutsertaan
remaja dalam kegiatan agama atau dengan kurang hormatnya anak kepada orang tua
dan kepada guru atau orang yang lebih tua. Etika dan moral kini sudah sangat
dikesampingkan dan tidak lagi menjadi modal utama untuk mencapai tujuan.
Masyarakat Indonesia yang dulu dikenal sangat kental dengan gotong royongnya
namun kini telah berubah menjadi sebuah masyarakat yang sangat individualis.
Jika nilai-nilai agama, akhlak, etika, dan moral sudah tidak menjadi sebuah
patokan atau pegangan, maka masyarakat akan sulit untuk melakukan filterisasi
terhadap sesuatu yang baru sehingga masyarakat tidak dapat menentukan mana yang
baik dan buruk.
Masyarakat tidak akan mungkin dapat
menghindar dari yang namanya teknologi. Teknologi seakan-akan telah menjadi
teman baik kita dalam kehidupan sehari-hari. Dimana pun kita berada, disitu
pula terdapat teknologi. Cukup miris sekali ketika kita melihat dan memperoleh
informasi dari media massa tentang fenomena yang dialami oleh remaja kita saat
ini. Perubahan sosial tersebut telah melahirkan generasi yang sangat akrab
dengan penyimpangan-penyimpangan perilaku. Tawuran pelajar, penyalahgunaan
narkoba, penyimpangan seksual, dan pelanggaran-pelanggaran lainnya telah
menjadi hal yang biasa di kalangan remaja saat ini. Hampir setiap hari media
massa selalu menayangkan perilaku-perilaku negative yang menimpa remaja kita.
Remaja seakan-akan menjadi peluang emas untuk menaburkan benih-benih perubahan
sosial yang mengarah ke hal-hal yang negative.
Jika hal ini terus menerus dibiarkan
anpa ada penanganan yang lebih lanjut bisa dipastikan bangsa Indonesia akan
jauh tertinggal dan tidak memiliki karakter moral lagi seperti zaman
sebelumnya. Dan ini menjadi peluang besar bagi Negara lain untuk menjajah
bangsa kita secara perlahan tanpa kita sadari.
III.
Pendidikan Moral Sebagai Pertahanan HAM
Pendidikan yang bersifat integratif memandang objek pendidikan
sebagai makhluk yang dikaruniai berbagai potensi oleh Sang Penciptanya. Potensi
yang dimiliki hanya dapat dikembangkan jika mengintegrasikan diri ke dalam
kehidupan masyarakat dan mewujudkan tata kehidupan dan nilai-nilai kemanusiaan
yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Itulah manusia yang berbudaya. Dengan
demikian, pendidikan tidak dapat dan tidak boleh dipisahkan dari kebudayaan.
Proses pendidikan adalah proses kebudayaan dan proses kebudayaan adalah proses
pendidikan. Memisahkan pendidikan dari kebudayaan berarti menjauhkan pendidikan
dari perwujudan nilai-nilai moral dalam kehidupan manusia. Seperti halnya
pelanggaran yang melibatkan anak. Pelanggaran hak asasi anak tersebut tidak
hanya dilakukan oleh orang lain, tetapi juga oleh korban dari pelanggaran
tersebut. Misalnya kekerasan terhadap anak-anak.
Kekerasan terhadap anak-anak adalah perilaku tindak penganiayaan yang
dilakukan oleh orang yang tak bertanggung jawab terhadap anak-anak (sepanjang
mereka masih berstatus anak secara hukum). Hampir semua anak dilahirkan karena keinginan ayah-ibunya walaupun ada
penyebutan anak di luar nikah, lebih bermakna anak yang dilahirkan sebelum sang
ibu menikah sedangkan perbuatan yang menjadikan anak itu ada, merupakan
tindakan yang penuh kesadaran. Selain itu yang menjadi pelanggaran hak asasi. Dalam sebuah kasus
pencurian sandal jepit milik seorang polisi. Kasus tersebut dilakukan oleh
seorang anak SMK di Palu, Sulawesi Tengah. Anak
tersebut diancam hukuman penjara selama lima tahun. Bila dibandingkan dengan
hukuman bagi para koruptor, terlihat rasa tidak adil terhadap anak itu.
Ketidakadilan tersebut merupakan pelanggaran hak asasi anak. Anak mempunyai hak
untuk diberi keadilan di depan hukum.
Dari kasus tersebut dapat disimpulkan bahwa moral sebagian
besar warga Indonesia saat ini sangat buruk. Bila dibandingkan dengan zaman
dahulu, moral pada zaman sekarang sangat ambruk. Hal itu disebabkan oleh sistem
pendidikan zaman dahulu di Indonesia lebih mengutamakan pendidikan moral. Namun
zaman sekarang, pendidikan moral tak lagi dijadikan sebagai pendidikan yang
diutamakan sehingga kehidupan negara Indonesia dipenuhi oleh
pelanggaran-pelanggaran terhadap hak asasi manusia terutama hak asasi anak.
Oleh karena itu, untuk menghilangkan pelanggaran-pelanggaran tersebut di masa
yang akan datang, diperlukan adanya revitalisasi pendidikan moral dalam sistem
pendidikan negara Indonesia artinya menjadikan kembali pendidikan moral sebagai
pendidikan yang diutamakan dalam dunia pendidikan.
Pendidikan moral merupakan suatu usaha sadar untuk
mendidik seseorang menjadi manusia yang memiliki moral baik dan selalu
menghargai hak yang dimiliki oleh sesamanya. Pendidikan moral juga dapat
diartikan sebagai usaha untuk melahirkan perilaku-perilaku yang selaras dengan
etika-etika moral. . Perilaku moral
dikendalikan oleh konsep moral, yakni aturan-aturan dalam bertingkah laku yang
anggota masyarakatnya berperilaku sesuai dengan pola perilaku yang diharapkan
oleh masyarakat, sedangkan perilaku immoral
adalah perilaku yang gagal dalam menyesuaikan perilaku sesuai harapan dan tidak
dapat diterima oleh norma-norma sosial. Pendidikan unmoral adalah perilaku yang tidak menghiraukan harapan dari
keleompok sosialnya. Perilaku ini cenderung terlihat pada anak-anak. Ketika
masih kanak-kanak, anak tidak diharapkan untuk mengenal seluruh tata karma dari suatu kelompok. Begitu anak
memasuki usia remaja dan menjadi anggota suatu kelompok, anak dituntut untuk
bertingkah laku sesuai dengan kebiasaan kelompoknya.
Tingkah laku yang sesuai aturan tidak hanya sesuai dengan dasar-dasar yang
ditetapkan secara sosial tetapi juga perlu diikuti secara suka rela. Hal ini
terjadi dari otoritas eksternal maupun internal. Dalam perkembangan moralnya
kelak anak harus belajar mana yang benar dan mana yang salah. Begitu anak
bertambah besar, ia juga harus tahu alasan mengapa sesuatu dianggap benar
sementara yang lain tidak. Dengan demikian, anak perlu dilibatkan dalam
aktivitas kelompok, tetapi yang terpenting tetap perlu mengembangkan harapan melakukan
mana yang baik dan mana yang buruk.
Pendidikan moral sangat mempengaruhi moral setiap anak. Pendidikan moral
bertujuan untuk mempertahankan harkat dan martabat anak. Pendidikan moral
mendidik kepada anak untuk selalu berperilaku sesuai etika-etika moral yang
baik. Pendidikan moral sesungguhnya mempunyai pengertian yang sama dengan
pendidikan budi pekerti dan pendidikan akhlak. Dalam pelaksanaan program
pendidikan dapat digunakan pendekatan-pendekatan pendidikan moral yang
berkembang. Sesuai dengan nilai-nilai budaya dan falsafah hidup bangsa,
pendekatan yang paling sesuai digunakan di Indonesia adalah pendekatan
penanaman nilai.
Tujuan pendidikan moral atau pendidikan budi pekerti bagi anak adalah
mewujudkan anak sebagai warga negara Indonesia yang baik serta anak yang cerdas
pikiran dan cerdas perilaku. Menjadikan seluruh warga negara Indonesia
(terutama anak) sadar dengan hakikat, martabat, dan kodratnya sebagai makhluk
individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa serta sadar dengan
sifat dasar, potensi dasar, serta hak dan kewajiban asasi yang dimiliki. Untuk
meraih pendidikan moral anak tersebut perlu disertai dengan upaya keteladanan,
pembiasaan, pengamalan, dan pengondisian terhadap anak, serta berbagai upaya
yang bersinergi dari berbagai pihak untuk mewujudkan lingkungan pendidikan yang
kondusif dan mempertahankan harkat martabat anak.
IV.
Implementasi Pendidikan Moral dalam Mewujudkan Generasi Penerus Bermutu
Pelajaran
agama yang menjadi pijakan utama pendidikan moral misalnya tidak boleh
dikesankan sebatas penyampaian doktrin-doktrin agama, tentang halal-haram, tata
cara ibadah berikut pahala-surga dan ancaman dosa-neraka, tetapi harus banyak
berbicara dimensi pemaknaan yang mengajak peserta didik meraih kesadaran (conscience)
terhadap nilai. Unsur-unsur ajaran agama menyangkut ibadah dan hukum-hukum
agama tentu saja harus disampaikan, tapi tidak boleh dilupakan bahwa tujuan
utama pendidikan agama adalah internalisasi nilai sehingga menjadi karakter.
Secara
eksplisit desain pendidikan nasional menekankan pentingnya pendidikan karakter
dan moral. Dalam kerangka ini, pendidikan harus menjadi sarana yang efektif
dalam mentransformasi nilai-nilai moral-spiritual yang sangat berguna bagi
pembentukan karakter peserta didik yang pada gilirannya diharapkan menjadi
karakter budaya bangsa.
Pendidikan
karakter dan moral pada dasarnya adalah “to guide the young towards voluntary
personal commitment to values”, pekerjaan membimbing generasi muda untuk
secara sukarela mengikatkan diri mereka kepada norma-norma atau nilai-nilai
(Philip H Phenix, 1964). Yang penting di sini ialah bahwa “commitment to
values” atau pengikatan diri kepada nilai-nilai harus terjadi secara
sukarela, harus tumbuh dari dalam, dan bukan karena ancaman atau ketakutan
kepada sesuatu di luar hati.
Meminjam
perkataan dari Abu ‘Ala “Akan tumbuh dan berkembang seorang anak sebagaimana
pembiasaan orang tuanya terhadapnya. Anak tidak akan mungkin menjadi hina dan
tercela dengan tiba-tiba, tapi orang dekatnyalah yang akan menjadikan hina dan
tercela”
Dalam
pendidikan moral menuju terbentuknya akhlak yang mulia dalam diri setiap peserta
didik terdapat tiga tahapan strategi yang harus dipenuhi diantaranya :
1. Moral knowing/ Learning to know
Akal adalah karunia Allah SWT yang
besar bagi manusia. Agama Islam sendiri berisi pedoman bagi manusia yang
berakal. Hanya manusia yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran dari
penciptaan langit dan bumi. “Apakah meraka tidak pernah merenung berpikir
tentang diri mereka?” (QS. Al-Ankabut [29]: 20).
Dalam tahapan ini tujuan
diorientasikan pada penguasaan dan pengetahuan tentang nilai-nilai terlebih
dahulu. Dimana anak didik mampu mengetahui nilai sesuatu, mampu membedakan
nilai yang baik dan yang buruk. Melalui akal Jadi peserta didik dengan
sendirinya mengetahui, memahami dan mampu membedakan nilai akhlak yang
dipelajarinya. Seperti mengetahui pentingnya akhlak mulia dan bahaya akhlak
tercela, mengenal sosok Nabi Muhammad sebagai teladan akhlak mulia melaui
hadits haditnya dan kisahnya.
2. Moral Loving/ moral Feeling
Belajar mencintai sesuatu dengan
cinta tanpa syarat. Tahapan ini dimaksudkan untuk menumbuhkan rasa cinta dan
rasa butuh terhadap nilai-nilai akhlak mulia setelah mereka mempelajarinya.
Yang menjadi sasaran pendidik adalah dimensi emosional, hati, jiwa generasi
muda sebagai peserta didik, sehingga tumbuh kesadaran, keinginan, dan kebutuhan
terhadap nilai akhlak yang sudah dipelajari sebelumnya. Dan dengan sendirinya
mereka mampu berkata kepada dirinya sendiri, “Iya, saya harus seperti itu…”
atau “Saya seharusnya seperti ini, tidak melakukan hal seperti itu..” dan
lain-lain.
3. Moral Doing/ Learning to do
Fitrah manusia sejak kelahirannya
adalah kebutuhan kepada orang lain. Kita tak dapt berkembang dan survive
kecuali ada kehadiran orang lain. Apabila seorang filsuf barat berkata “Cogito
ergo sum” aku da karena aku berpikir, kita dapat mengatakan “aku ada karena
memberikan makna bagi orang lain” sebagaimana sabda Rasulullah SAW : “Engkau
belum disebut sebagai orang yang beriman kecuali engkau mencintai orang lain
sebagaimana mencintai dirimu sendiri”.
Disinilah puncak keberhasilan
pandidikan akhlak, dimana siswa/peserta didik mampu mempraktikkan akhlak mulia
dalam perilakunya sehari-hari. Siswa menjadi semakin sopan, hormat, ramah,
penyayang, jujur, adil, murah hati dan lain sebagainya. Dikarenakan sudah
tertanam dalam hati akan makna sebuah akhlak yang mulia yang dicintai dan
dengan sendirinya akhlak tersebut akan muncul tanpa perlu pemikiran sebelumnya.
Akhlak akan muncul secara spontan dengan sendirinya.
Hal ini
sama dengan pendidikan akhlak tasawuf dalam proses pembentukan akhlak ada tiga
tahapan yakni Knowledge (Al Ilmu), Afeksi/Rasa (al hal), dan Action/konasi (al
Amal). Sebagai contonhya ketika anak mengetahui akan nilai kebaikan suatu
kesabaran dengan segala konsekuensinya berupa Allah akan menyertai orang-orang
yang senantiasa sabar, maka perlahan akan muncul rasa cinta sabar karena Allah
SWT. Dan lama kelamaan tanpa perlu berfikir terlebih dahulu dalam situasi
tertentu akhlak tersebut akan muncul dengan sendirinya. Contoh lain mengetahui nilai
positif dari jujur, ketika seorang anak disuruh bohong dalam hatinya akan
memberontak dan susah untuk berbohong karena sudah tertanam dalam hatinya rasa
cinta kepada kejujuran.
Dengan
kerelaan tersebut, nilai-nilai moral diharapkan akan tercermin dalam akhlak
kehidupan sehari-hari. Hal ini menuntut kreativitas dan pengayaan program
pengajaran melalui berbagai kegiatan yang aplikatif dan tepat sasaran dalam
menuntun akhlak sehari-hari peserta didik. Dalam pelaksanaannya tentunya tidak
bisa terlepas dari peran pendidik, dan juga lingkungan.
Pendidik
tak sekedar hanya memberikan pengetahuan (Transfers knowledge) belaka, akan
tetapi pendidik juga sebagai teladan yang patut dijadikan uswah al hasanah bagi
peserta didik sebagai generasi penerus bangsa. Sangat pentingnya peran pendidik
tak terbatas bagi pendidik di lingkunga sekolah saja, melainkan peran besar
orang tua sebagai pendidik secara mutlak bagi anak-anaknya yang sudah menjadi
kewajiban orang tua memberikan pendidikan yang terbaik dan hak anak untuk
mendapatkan pendidikan yang terbaik bagi mereka. Jika orang tua sebagai
pendidik paling dominan tak mampu memberika didikan yang bagus maka bisa jadi
anak mereka akan menjadi produk yang kurang baik kemudian. Begitu pula factor
lingkungan juga ikut menyumbang dlam pembentukan karakter moral anak didik,
ketika anak berada dalam sebuah lingkungan yang terjaga maka terjagalah
dirinya, akan tetapi tak serta merta seperti itu. Terkadang ditemukan anak
didik yang hidup di lingkungan masyarakat yang kurang baik, namun lingkungan
keluarga dan sekolah sangat kondusif, anak tersebut tetap terjaga.
Pengajaran
moral melalui pembahasaan yang divergen atas nilai-nilai yang terkandung dalam
materi ajar melalui kegiatan-kegiatan sederhana, tapi mengena akan
mengefektifkan pembentukan karakter moral para peserta didik. Pada gilirannya
akan membentengi akhlak peserta didik dari perbuatan yang dilarang (amoral). Hal
ini tentu saja sangat penting bagi fondasi pembangunan bangsa di masa depan.
Ketika karakter moral telah membudaya, ia akan menjadi etos kerja bangsa
sehingga proses-proses politik, perumusan kebijakan, dan praktik pemerintahan
dan pembangunan akan dilandasi moralitas yang kuat, terhindar dari berbagai
penyimpangan.
Dengan demikian
diharapakan setealah adanya pendidikan moral sejak dini akan mampu
mengembalikan karakter moral bangsa dan
menghapuskan dekadensi moral yang kian merajalela. Akan mampu mencetak kader kader generasi penerus bangsa
yang berkarakter bermoral dan membangun bangsa dengan identitas moral bangsa
yang dijunjung tinggi.
D.
KESIMPULAN
Moral
merupakan hal terpenting dalam sebuah pembentukan karakter individu maupun
sosial bermasyarakat. Ketika moral seseorang itu rusak maka dengan perlahan
orang tersebut tak memiliki karakter atau ciri khas yang bisa dibanggakan dalam
hidupnya. Pendidikan moral guna membentuk kerakter generasi penerus harus
difungsikan dengan baik agar mampu mencetak kader anak bangsa yang bermutu
dengan karakter moral yang tinggi. Pendidikan moral bisa ditumbuhkan sejak dini
melalui pendidikan akhlak, agama, dan budi pekerti. Semua orang memiliki
tanggungjawab pada pendidikan moral, tak hanya diberikan kepada generasi muda
akan tetapi pendidikan moral perlu untuk semua golongan, tak terpaut usia.
Dengan
penggunaan metode khusus dan mudah seperti yang telah disebutkan diatas (moral
knowing, moral loving, moral doing), dibutuhkan peran aktif para pendidik baik
orang tua ataupun guru dalam lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat dan
juga pemerintah dalam memajukan pendidikan bangsa. Revitalisasi pendidikan
moral bagi generasi penerus bisa
berhasil jika semuanya mampu berperan dengan aktif sesuai bidangnya dan
memenuhi hak-hak serta kewajibannya sebagai makhlik individu dan sosial. Maka
dengan itu akan mampu terwujud suatu bangsa yang berkarakter moral yang
menjunjung tinggi nilai moral bangsa. Kalau tidak dimulai dari sekarang, kapan
lagi kita bisa membenahi bangsa kita tercinta ini. Karena baik buruknya suatu
bangsa tergantung kepada warganya dalam bersikap. Dan baik buruknya
pemerintahan tergantung kepada para pemimpinnya yang memiliki moral
kepemimpinan yang baik taua tidak.
YouTube - VR Football Academy on YouTube
BalasHapusWatch and practice live sports games such as football, basketball, tennis, boxing, volleyball, baseball, boxing, golf, download youtube videos ice hockey, basketball and more at