PENEGAKAN HUKUM TANPA TEBANG PILIH
I.
PENDAHULUAN
Islam sangat memperhatikan Keadilan, dan
mengajak umat manusia kearah Keadilan. Keadilan merupakan salah satu
sifat Allah S.W.T. Syariat Ilahi yang terkandung dalam al-Quranul karim
menggambarkan Keadilan yang sebenarnya.
Perhatikan beberapa firman Allah berkenaan Keadilan. Allah
berfirman yang maksudnya:
Keadilan Islam adalah Keadilan yang sebenarnya,
tidak kira siapa, meskipun terhadap diri sendiri, ibu bapak, keluarga ,teman
rapat ataupun terhadap musuh sekalipun kita dituntut supaya tetap berlaku adil.
Kenyataan kini berbeda, keadilan dalam penegakan
hukum tak lagi seperti dahulu. Penegakan hukum semakin ke atas semakin tumpul
dan semakin ke bawah semakin runcing. Sungguh ironis keadaan hukum Negara kita,
yang seharusnya hukum tu melindungi kini menjadi ancaman besar bagi kalangan
bawah dan layaknya barang dangangan yang mudah diperjualbelikan begitu saja.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Hadits
penegakan hukum tanpa tebang pilih
B.
Bentuk Keadilan dalam penegakan hukum islam
III.
PEMBAHASAN
A. Hadits tentang penegakan hukum tanpa
tebang pilih
عن
عائشة رضي الله عنها اَنَّ قُرَيْشًا اَهَمَّهُمْ شَٲْنُ الْمَرْٲَةَ الْمَخْزُوْمِيَّةِ
الَّتِيْ سَرَقَتْ فَقَالُوْا وَمَنْ يُكَلِّمُ فِيْهَا رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوْا وَمَنْ يَجْتَرِئُ عَلَيْهِ ٳِلَّا اُسَامَةَ
بْنُ زَيْدٍ حِبُّ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَكَلَّمَهُ ٲُسَامَةَ
فَقَالُوْا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ٲَتَشْفَعُ فِى حَدٍّ
مِنْ حُدُوْدِ اللهِ ثُمَّ قَامَ فَاخْتَطَبَ قَالَ ٳِنَّمَا ٲَهْلَكَ الَّذِيْنَ
قَبْلَكُمْ ٲَنَّهُمْ كَانُوْا ٳِذَا سَرَقَ فِيْهِمُ الشَّرِيْفُ تَرَكُوْهُ وَٳِذَا
سَرَقَ فِيْهِمُ الضَّعِيْفُ ٲَقَامُوْا عَلَيْهِ الُحَدَّ وَايْمُ اللهِ لَوْ ٲَنَّ
فَاطِمَةَ بِنْتِ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعْتُ يَدَهَا ( رواه البخارى )
Dari Aisyah RA.
“Sesungguhnya kaum Quraisy bersusah hati lantaran perbuatan seorang
perempuan Makhzumiyyah yang melakukan pencurian. Seorang dari mereka berkata:
siapakah gerangan yang akan berbicara dengan Rasul SAW tentang hal perempuan
ini? Mereka menjawab: tidak ada yang berani berbicara kecuali Usamah Ibn Zaid,
yang disayangi Rasulallah SAW. Kemudian Usamah pun berbicara dengan Rasulallah
tentang hal itu. Maka Rasulallah berkata: Apakah engkau meminta syafaat mengenai
sesuatu hukuman dari hukuman-hukuman Allah? Sesudah itu Nabi berdiri lalu
berkhutbah, kemudian bersabda: Bahwasannya Allah telah membinasakan orang-orang
yang sebelum kamu karena ketika ada orang-orang yang terpandang mencuri, mereka
tidak menjalankan hukuman terhadapnya. Dan apabila kaum lemah (rakyat kecil)
mencuri mereka menjatuhkan hukuman atasnya. Demi Allah, sekiranya Fatimah binti
Muhammad, mencuri pastilah aku memotong tangannya.” ( HR. Bukhori )
اَهَمَّهُمْ=هم - يهم - اهم
|
Susah
|
ٲَتَشْفَعُ= شفع – يشفع
|
Syafaat,
pertolongan
|
شَٲنُ
|
Tingkah, perbuatan
|
حَدٍّ – حُدُوْد
|
Hukum,
ketetapan
|
سَرَقَ
|
Mencuri
|
اخْتَطَبَ
|
Berkhutbah
|
يُكَلِّمُ= كلم – يكلم
|
Berbicara
|
ٲَهْلَكَ
|
Rusak,
binasa
|
يَجْتَرِئُ
|
Yang berani
|
وَايْمُ اللهِ
|
Demi
Allah
|
اقاموا= قام -يقوم
|
Menegakkan
|
|
|
Asbabul wurud
hadits diatas adalah dahulu ada seorang perempuan dari golongan Bani Makhzum,
yang bernama Fatimah binti Al Aswad, mencuri perhiasan emas. Kasus itu terjadi
dalam peperangan penaklukkan Makkah. Orang Quraisy ingin perbuatan perempuan
itu dimaafkan (diampuni).
Seorang
diantara mereka, yaitu Mas’ud ibn Al Aswad mengemukakan pendapatnya, bahwa
tidak ada seorangpun yang berani menemui Rasulallah SAW untuk mengampuni
Fatimah itu, selain Usamah Ibn Zaid seorang sahabat yang disayangi Rasul.
Mereka tahu, bahwa Rasulallahsangat tegas dan keras dalam melaksanakan hukum
Allah SWT. Rasul dengan tegas menolak permohona itu, bahkan Nabi menjadikan
Fatimah putrinya sebagai contoh.[1]
Dalam hadits
ini diterangkan larangan memberi syafaat atau pertolongan dalam urusan had atau
hukum ketetapan Allah SWT. dengan sanagat jelas hadits tersebut tidak
membenarkan memeberika syafaat (maaf) kepada seseorang yang melakukan tindak
kejahatan, apabila kasusnya telah sampai di tangan hakim. Biarkanlah hakim yang
memutuskan.[2]
B.
Bentuk keadilan dalam penegakan hukum islam
Allah Maha Adil
kepada seluruh makhluk-Nya, daripada itu telah Allah tetapkan ketentuan-ketentuan
yang harus dipatuhi penuh amanah. Melakukan tindakan yang dapat merugikan orang
lain seperti mencuri tidak dibenarkan dalam islam dan juga Negara.
Mencuri adalah
mengambil harta milik orang lain dengan cara diam-diam atau sembunyi-sembunyi,
atau bisa juga dengan cara kekerasan. Sebagai contoh pencurian pada malam hari
ketika pemilik sedang tidur dan korupsi termasuk tindak pidana yang sangat
merugikan. Terlebih korupsi kini seakan telah menjadi kegiatan yang membudaya.
Apabila tindak
pidana pencurian telah dapat dibuktikan maka pencuri dikenai hukuman
1.
Penggantian
kerugian (Dhaman), mengembalikan sejumlah nilai yang dicuri.
2.
Hukuman
potong tangan yang sesuai dengan firman Allah QS. Al Maidah: 38.
ä-Í‘$¡¡9$#ur
èps%Í‘$¡¡9$#ur
(#þqãèsÜø%$$sù
$yJßgtƒÏ‰÷ƒr&
Lä!#t“y_
$yJÎ/
$t7|¡x.
Wx»s3tR
z`ÏiB
«!$#
3
ª!$#ur
͕tã
ÒOŠÅ3ym
ÇÌÑÈ
Artinya: “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.
Adapun ketentuan batas hukum potong adalah apabila barang yang
dicuri telah mencapai nishab pencurian. Ketentuan ini didasarkan kepada hadits
Rasulallah SAW yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Muslim, Imam Nasa’I, dan
Ibnu Majjah. Bahwa Rasulullah SAW bersabda:
لا تقطع يد السارق الا فى ربع دينار فصاعدا
Tangan pencuri tidak dipotong kecuali dalam pencurian seperempat
dinar ke atas.
Hukuman potong tangan dikenakan terhadap pencurian pertama, dengan
memotong tangan kanan pencuri dari pergelangan tangannya. Apabila mencuri untuk
kedua kalinya, maka ia dikenai hukuman potong kaki kirinya. Apabila mencuri
lagi untuk ketiga kalinya, para ulama berbeda pendapat.
Ø Menurut Imam Abu Hanifah, pencuri tersebut dikenai hukuman ta’zir
dan dipenjarakan.
Ø Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad, pencuri tersebut dikenai
hukuman potong tangan kanannya.
Apabila masih
mencuri lagi keempat kalinya, maka dikenai hukuman potong kaki kanannya. Dan
yang kelima kalinya dikenai hukuman ta’zir dan dipenjarakan seumur hidup
(sampai meninggal) atau sampai ia bertaubat.[3]
Alangkah
indahnya jika orang-orang mau berfikir dan memahami ketentuan tersebut, niscaya
orang-orang akan enggan melakukan perbuatan mencuri dan korupsi yang merugikan
orang lain dan diri sendiri. Karena Allah melaknatnya, menjadikan amalnya
sia-sia.
C.
KESIMPULAN
Kedudukan
individu di mata hukum sama, tidak ada yang membedakan. Penegakkan hukum harus
direalisasikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku yakni tanpa tebang pilih.
Allah SAW
melaknat orang yang mencuri sehingga memrintahkan untuk memotong tangan pencuri
yang telah mencapai nishab. Bukan berarti yang mencuri sedikit tidak dihukum,
karena sekecil apapun pencurian yang dilakukan tetap akan mendapat hukuman dari
Allah.
Dalam kehidupan
berbangsa juga dijelaskan keadilan merupakan pilar kebangsaan yang harus
dijunjung dan ditegakkan demi bangsa yang tenteram dan damai. Tindakan yang
melanggar hukum harus ditangani dengan baik dan tidak peduli memandang jabatan,
harta, harkat seseorang. Jika memang terbukti salah hukum harus ditegakkan
dengan adil.
D.
PENUTUP
Demikan makalah
ini penulis susun. semoga dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan serta
pemahaman lebih bagi penulis dan pembaca tentang hadits. Kritik dan saran yang
membangun dari pembaca sangat penulis harapkan demi perbaikan makalah.
DAFTAR PUSTAKA
Ash
Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbie. Mutiara
Hadits 5. Semarang: Pustaka Rizki
Putra.
Ash-Shiddieqy,
Teungku Muhammad Hasbi. 2011. Koleksi Hadits-Hadits Hukum jilid 4.
Semarang: Pustaka Rizki putra
Muslich,
Ahmad Wardi .2005. Hukum Pidana Isla.
Jakarta: Sinar Grafika
[1]
Teungku Muhammad hasbi Ash Shiddieqy, Mutiara Hadits 5, ( Semarang: Pustaka
Rizki Putra), 2007, hlm. 436
[2]
Prof. DR. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-Hadits Hukum
jilid 4, (Semarang: Pustaka Rizki putra, 2011), hlm. 402
[3]
Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2005), hlm. 90-91
Tidak ada komentar:
Posting Komentar